Menu

Kisah Haru Seorang Badut Jalanan, Berjuang Untuk Bertahan Hidup di Tengah Pandemi

Devi 4 Sep 2021, 07:30
Foto : istimewa
Foto : istimewa

RIAU24.COM -  Berkali-kali diperpanjang, PPKM telah berdampak pada terenggutnya berbagai lapisan kehidupan.

Terlebih di masa pandemi seperti ini, apa saja cara dilakukan orang untuk tetap bisa makan, salah satunya menjadi badut jalanan. 

Dan kini, fenomena badut jalanan pun kian marak di Pekanbaru.

Atraksi badut jalanan memang sering kali di jumpai di beberapa lampu merah. Biasanya para badut tersebut mencoba menghibur orang untuk bisa mendapatkan uang.

Namun di balik keriangannya, ada duka tersembunyi dalam kostum badut jalanan. Mereka harus tetap kuat demi bisa menyambung nyawa keluarga. 
Dengan keringat bercucuran dan napas yang tersengal-sengal karena mulai dari kepala hingga ujung kaki tertutup dengan kostum, badut jalanan ini berjibaku dibawah teriknya matahari dan udara berpolusi.

Ketika lampu rambu lalu lintas berwarna merah, itu menjadi pertanda bagi Bunga (nama samaran), seorang badut jalanan di Pekanbaru, untuk mengais rezekinya lewat tangan-tangan para pengguna kendaraan.

Lengkap dengan kaleng yang sudah disiapkannya, Bunga akan menghampiri tiap kendaraan yang sudah mengantre di lampu lalu lintas, berharap mendapatkan uang berapapun jumlahnya.

Sekitar 3 menit berkeliling, ia mengharap uang dari tiap pengendara. Kadang ada yang memberinya Rp2-Rp5 ribu, kadang hanya lambaian tangan. 

Bahkan ada juga pengendara mobil yang tak memberi respons dengan kaca tertutup.

"Yang sedih itu kalau ga dihirauin, bang. Mending ditolak, dikasih kode gitu tapi kalau mereka diam aja, kami jadi bingung. Ada juga yang ngasih tapi dengan pandangan hina dan sinis. Sudah biasa. Saya harus ikhlas," aku Bunga di sela kisahnya.

Ia biasa mangkal di perempatan lampu merah Jalan Soekarno Hatta - Jl. Darma Bhakti (Sigunggung).

Memang, para badut-badut jalanan lebih memilih lokasi trafic light dengan durasi lampu merah yang lama. 

Sambil memutar musik dari sebuah tape dan speaker portable mereka berjoget di depan antrean kendaraan yang menunggu lampu hijau. Pelakonnya juga banyak bocah-bocah dibawah umur.

zxc3

Begitu lampu lalin menjadi warna hijau, kembali ia duduk, lalu membuka kostum boneka bagian kepala, untuk sekedar menghirup udara segar sambil menunggu lampu rambu berubah kembali berwarna merah.

Menjadi badut jalanan sudah menjadi pekerjaan Bunga setiap harinya sejak lima bulan belakangan ini.

Ia mengaku menjadi badut jalanan setelah diajak oleh teman-temannya, untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari terlebih di masa pandemi Covid-19 ini.

"Jadi badut ini karena diajak teman bang, lumayan bisa beli makan," katanya.

Bunga mengaku, setelah pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat, pemasukannya menurun drastis di bawah 50 ribu setiap hari.

"Sepi bang, paling banyak Rp50 ribu," katanya menjelaskan pemasukannya.

Namun, walaupun begitu, di lain sisi penampilan mereka di lampu-lampu merah mungkin menjadi masalah tersendiri. Semisal mengganggu ketertiban umum, atau mengganggu lalu-lintas.

“Kalau sejauh ini, nggak masalah. Tapi bisa bahaya juga melakukan aktivitas di jalan kayak gitu, bisa ketabrak loh mereka. Banyak pengamen anak-anak, jualan koran anak-anak, jualan tisyu. Apalagi kendaraan di Pekanbaru tau sendirilah, dump truk lewat, kontainer lewat. Bahaya lah. Dilema juga, di lain sisi mereka nyari duit. Mungkin mereka ga seberuntung kita ekonominya,” kata Rina, salah satu mahasiswa di Pekanbaru.

Memang, profesi sebagai badut jalanan memberikan asa kehidupan di tengah impitan kebutuhan, meskipun risiko yang diterima juga sebanding. 

Dalam balik topeng penuh senyumnya ada peluh perjuangan tak terungkap. Di balik balutan seragam cerianya ada harap balasan hangat dari siapapun yang melintas.