Menu

Cerita NU Pernah Jadi Parpol

Azhar 8 Feb 2023, 14:21
Nahdlatul Ulama. Sumber: Pikiran Rakyat
Nahdlatul Ulama. Sumber: Pikiran Rakyat

RIAU24.COM - Pertikaia antara Nahdlatul Ulama (NU) dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) tercatat dalam sejarah.

Hal itu terjadi sebelum NU berdiri sebagai partai politik lalu kembali lagi ke khittah 1926, dikutip dari okezone.com, Rabu, 8 Februari 2023.

Semua diawali ketika NU menjadi konstituen Masyumi. Kehadiran NU sebagai kekuatan tradisional menjadikan Masyumi partai Islam terbesar di Indonesia sekaligus tandingan PNI, PSI dan PKI.

Akibat dinamika politik perbedaan pandangan yang terus menajam membuat NU dan Masyumi mengalami pecah kongsi.

Puncaknya terjadi di awal tahun 1952. Kala itu, posisi NU mulai dipinggirkan seiring berakhirnya kabinet PNI-Masyumi yang dipimpin Sukiman pada 25 Februari 1952.

Atau upaya NU mempertahankan jatah menteri agama diganggu. Padahal bagi NU, posisi kementerian agama adalah vital karena merupakan lembaga penting yang melayani kebutuhan spiritual masyarakat.

Tak hanya itu, adanya perubahan kepemimpinan, kebijakan, peraturan dan sikap partai terhadap ulama tradisionalis menjadi pemicu selanjutnya. Sayangnya, semua perubahan itu merupakan hasil Kongres Masyumi ke-4 pada Desember 1949 di Yogyakarta.

Seiring berjalannya waktu, kongres mengantarkan Moh Natsir sebagai Ketua DPP sekaligus menjadikan orang-orangnya mendominasi partai.

Natsir melalui peraturan barunya, menyempitkan peran Majelis Syuro (Dewan Penasihat) yang diketuai KH Wahab Chasbullah. Dewan Syuro dilarang mencampuri urusan politik dan hanya dibolehkan memberi fatwa terkait hukum Islam.

Sementara di Masyumi, satu-satunya lembaga kepemimpinan yang didominasi NU hanya Majelis Syuro. NU memandang anggaran dasar baru itu meletakkan politisi pada posisi lebih tinggi dari ulama.

Perubahan peran ulama dan Majelis Syuro ini yang penyebab utama pertikaian antara NU dengan kelompok Natsir. Dalam Kongres Masyumi ke-4 di Yogyakarta itu, serangan kaum modernis terhadap ulama tradisionalis juga diperlihatkan terang-terangan.

Pasca Kongres Masyumi 1949 sejumlah aktivis NU mulai berkampanye untuk menarik diri dari Masyumi. PBNU juga menyiapkan diri dengan membentuk Majelis Pertimbangan Politik (MPP) pada awal September 1951.

MPP menyusun rencana bagi NU untuk menjadi partai politik. Diawali manuver politik Kiai Wahab Chasbullah yang menuntut diberikannya jatah menteri agama, NU mulai melakukan perlawanan terhadap Masyumi.

Sementara Natsir sebagai pimpinan Masyumi menganggap ancaman penarikan diri NU, kecil kemungkinan dilaksanakan. Kalaupun terjadi, pikirnya, NU tidak akan menjadi partai politik, melainkan tetap menjadi jam’iyah.

Ternyata Natsir keliru. Setelah melalui perdebatan keras dalam Muktamar NU ke XIX, pada 31 Juli 1952 NU resmi keluar dari Masyumi dan berubah menjadi partai politik.

Dalam berkampanye NU mengusung jargon ‘Kerjasama Islam-nasional’. Jargon itu merujuk pada cita-cita Izzul Islam wal Muslimin (Kejayaan Islam dan para pemeluknya).

Pada pemilu 1955, NU membuktikan diri mampu mengalahkan Masyumi. Perolehan suara Partai NU sebanyak 6.492.631 suara menempati posisi kedua terbesar di bawah PNI, yakni 7.333.063 suara.

Akhirnya, tahun 1984 melalui Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, NU menyatakan diri kembali ke khittah 1926 dan bukan lagi sebagai partai politik.