Menu

Fakta-fakta Bocah Mati Otak usai Operasi, Kemenkes Sentil Penolakan 80 RS

Devi 4 Oct 2023, 11:46
Fakta-fakta Bocah Mati Otak usai Operasi, Kemenkes Sentil Penolakan 80 RS
Fakta-fakta Bocah Mati Otak usai Operasi, Kemenkes Sentil Penolakan 80 RS

RIAU24.COM -  Kisah bocah Bekasi berinisial BA, pasien RS Kartika Husada Jatiasih yang meninggal karena mati batang otak usai operasi amandel, menjadi viral di media sosial. Sebelum meninggal, pihak RS sudah mengupayakan agar BA bisa dirujuk ke RS yang memiliki fasilitas yang lebih baik dan lengkap.

Komisaris RS Kartika Husada Jatiasih dr Nidya Kartika Yolanda mengungkapkan pihaknya sudah berupaya merujuk BA ke lebih dari 80 RS di seluruh Jabodetabek. Sayangnya, tidak satupun RS yang mau menerima pasien BA.

Berikut fakta-fakta kematian bocah mati batang otak di RS Kartika Husada, termasuk sentilan Kemenkes RI soal penolakan rujukan di 80 RS.

1. Alasan BA Dirujuk
dr Nidya menjelaskan pasien BA mengalami kejang-kejang pasca menjalani operasi amandel. Setelah lima hari, kondisinya tak kunjung membaik, tim dokter yang menangani menyimpulkan kalau BA mengalami mati batang otak. Namun, mereka tidak bisa memastikan pemicu mati batang otak, termasuk apakah disebabkan proses operasi, lantaran keterbatasan alat pemeriksaan seperti MRI dan CT Scan.

"Kita terkendala di alat-alat penunjang pemeriksaan, seperti MRI, CT Scan, itu tidak ada," ucapnya dalam konferensi pers, Selasa (3/10/2023).

dr Nidya mengatakan keterbatasan tersebut dikarenakan status RS Kartika Husada Jatiasih yang hanya RS tipe c, sehingga tidak memiliki alat-alat seperti yang dibutuhkan untuk menangani pasien BA.

2. Dirujuk ke Lebih dari 80 RS
Pihak RS Kartika Husada Jatiasih kemudian mengupayakan pasien BA agar bisa dirujuk ke RS yang memiliki alat pemeriksaan lebih lengkap. Mereka pun sudah menghubungi lebih dari 80 rumah sakit di seluruh Jabodetabek, serta berusaha mendatangkan dokter dari kolegium untuk datang dan memeriksa kondisi BA secara langsung. Sayangnya, tidak ada satupun rumah sakit yang mau menerima BA.

dr Nidya menyebut ada beberapa alasan di balik penolakan rujukan tersebut. Pertama, kondisi BA yang sudah kritis dan non-transferable (tidak bisa dipindahkan) sehingga ada kekhawatiran kondisinya memburuk saat dibawa ke RS yang baru.

"Alasannya tidak bisa membantu. Mungkin karena kondisi anak yang memang non-transferable, berisiko sekali kalau sampai di sana," imbuhnya.

Selain itu, dr Nidya menduga proses hukum yang berlangsung antara RS Kartika Husada Jatiasih dan pihak keluarga BA terkait dugaan malpraktik membuat RS lain enggan terlibat dan menangani pasien.

"Ini kan ada kasus hukum, di mana-mana rumah sakit tidak mau menerima karena takut terbawa-bawa. Di sana kesulitan kami sebenarnya," tuturnya.

 
3. Regulasi Penolakan Rujukan
Di sisi lain, Kepala Biro Komunikasi Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi menuturkan secara regulasi pihak rumah sakit memang bisa menolak rujukan pasien. Namun, dr Nadia mengaku tidak bisa berkomentar banyak terkait penolakan dari 80 RS terhadap pasien BA.

"Mungkin saja. Tapi kalau sampai 80 rumah sakit, nggak paham juga," ucapnya saat dihubungi detikcom, Rabu (4/10/2023).

Meski begitu, dr Nadia mengatakan rumah sakit memang bisa menolak rujukan dengan alasan tertentu.

"Karena ruang rawatnya nggak ada, atau pasien tidak stabil," ujarnya.

Meski begitu, dr Nadia menegaskan dalam situasi normal rumah sakit tidak diperbolehkan menolak rujukan pasien. Selain alasan di atas, penolakan rujukan hanya bisa dilakukan jika rumah sakit yang dirujuk tidak memiliki fasilitas yang dibutuhkan oleh pasien.

"Seharusnya tidak boleh ada penolakan, kecuali memang permintaan rujukan seperti ruangan penuh atau fasilitas tidak tersedia," pungkasnya.