Menu

Kepastian Hukum dalam Proses Pencalonan Kepala Daerah

Lina 16 Oct 2025, 08:07
Muhamad Andi Susilawan, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Andalas/ Anggota Bawaslu Kabupaten Siak
Muhamad Andi Susilawan, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Andalas/ Anggota Bawaslu Kabupaten Siak

Sedangkan ilmu murni dalam tradisi filsafat ilmu (Hans Kelsen, 2006), diorientasikan pada pencarian kebenaran universal tanpa mempertimbangkan manfaat praktis. Dalam ranah sosial, pendekatan ini mungkin hadir dalam bentuk analisis empiris atau statistik atas fenomena hukum tanpa keterlibatan nilai moral. Namun dalam hukum posisi seperti ini tidaklah memadai, hukum tidak mungkin berdiri netral terhadap realitas sosial karena hukum selalu diharapkan membawa keadilan (John Rawls, 2019) dan mengatur perilaku manusia (Annurriyyah et al., 2024). Ilmu murni hanya dapat berperan sebagai dasar pengamatan terhadap fenomena hukum, tetapi tidak dapat menjelaskan mengapa suatu tindakan harus dianggap benar atau salah. Dengan kata lain, hukum tidak cukup dijelaskan oleh rasionalitas positivistik, tetapi memerlukan rasionalitas normatif yang menilai dan mengarahkan perilaku manusia.

Sebagai ilmu dasar hukum bergerak melampaui deskripsi menuju konstruksi. Hukum tidak sekadar mengamati realitas hukum melainkan membangun struktur normatif tentang bagaimana hukum seharusnya dijalankan. Teori hukum murni Hans Kelsen (Hans Kelsen, 2008), misalnya menjadi cerminan ilmu dasar yang menempatkan hukum sebagai sistem norma yang otonom. Kelsen berpendapat bahwa hukum harus dibebaskan dari campur tangan politik dan moral agar tetap objektif. Namun, pemikiran ini kemudian dikritik karena menjadikan hukum terlalu formalistik dan terlepas dari nilai keadilan sosial. Kritik inilah yang kemudian melahirkan pandangan baru bahwa hukum sebagai ilmu dasar tidak boleh tertutup, melainkan harus terbuka terhadap realitas kehidupan suatu konsep yang dikenal sebagai living law. Dengan demikian, hukum bertransformasi dari sistem statis menjadi sistem dinamis yang terus menyesuaikan diri terhadap perkembangan masyarakat.

Sebagai ilmu terapan hukum menunjukkan wajah praktisnya teori dan konsep yang telah dibangun dalam ranah ilmu dasar dioperasionalkan untuk menjawab persoalan konkret. Hukum menjadi instrumen kebijakan yang mengatur masyarakat, mengadili pelanggaran, dan menegakkan keadilan. Dalam konteks hukum adminitrasi dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, ilmu terapan terlihat jelas dalam pembentukan undang-undang dan implemnetasinya dilapangan. Ilmu hukum yang tidak mampu menghasilkan terapan akan berhenti menjadi wacana normatif yang steril dari kehidupan. Karena itu, ilmu terapan hukum menuntut kemampuan reflektif dan adaptif untuk menerjemahkan teori ke dalam praktik yang hidup.

Kapan dan mengapa muncul keinginan melakukan terobosan dari ilmu murni ke ilmu dasar dan ilmu terapan dapat dipahami melalui dinamika sejarah keilmuan. Dalam filsafat ilmu, Thomas S. Kuhn menyebut fenomena ini sebagai krisis paradigma (Thomas S. Kuhn, 2020), yaitu ketika teori lama tidak lagi mampu menjelaskan realitas baru. Dalam hukum, krisis paradigma ini terjadi ketika teori kepastian hukum tidak memberikan rasa kepastian yang cendrung menimbulkan permasalahan multi tafsir dan tidak kongkrit sehingga hasil yang akan dicapai atas tidak adanya tidakpastian hukum maka akan bias cendrung hasil negatif yang menimbulkan banyak pertentangan dimasyarakat.

Sistem pemilihan yang mensyaratkan calon harus belum 2 periode jika ditelaah secara administrasi dan dikemas dalam hukum yang kongkrit, maka hal ini tidak akan menimbulkan permasalahan hukum. Tetapi jika dipaksakan oleh kepentingan kelompok atau golongan ketika terverifikasi dalam aturan mainnya terjadi adanya permasalahan dalam memaknai persyaratan calon maka akan terkoreksi hingga akhirnya dieliminiasi hasil tersebut. Atas peristiwa tersebut, maka seluruh elemen-elemen yang terkait dalam proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah maka akan dirugikan. Belum lagi kepercayaan masyarakat terhadap alat kelembagaan negara dan para kontestan yang menelan banyak kerugian materil maupun inmateril. Terobosan keilmuan ini menandai bahwa hukum bukanlah entitas yang statis, tetapi disiplin yang berevolusi seiring dengan perubahan masyarakat. Ketika hukum berhenti berkembang, ia kehilangan relevansi sosialnya. Sebaliknya, ketika hukum berani berinovasi dengan tetap berpijak pada asas moral dan keadilan, ia menjadi instrumen transformatif dalam kehidupan bangsa.

Dalam realitas hukum di Indonesia, muncul ketegangan antara das sollen dan das sein antara cita hukum dan kenyataan hukum (Achmad Ali, 2015). Idealnya, proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak menimbulkan banyak tafsir dalam persyaratannya, melainkan harus konkrit dan jelas. Namun kenyataannya, menimbulkan banyak tafsir dan tidak berpegang teguh pada asas kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum. Misalnya dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Calon Wakil Walikota, menyebutkan 

Halaman: 123Lihat Semua