Menanam Harapan di Tanah Siak: Ikhtiar Kolektif Mewujudkan Kemandirian Pangan
Untuk mengolah temuan ini, saya melakukan overlay sederhana antara grafik harga cabai dan catatan serangan hama yang diperoleh dari dua petani muda Dayun. Hasil overlay itu memberi gambaran menarik, ketika hujan memanjang, harga naik karena panen menyusut, ketika cuaca stabil, panen melimpah dan harga justru anjlok. Pola dualitas inilah yang menciptakan krisis pangan yang sifatnya psikologis petani takut menanam, tetapi tidak punya pilihan selain kembali ke tanah.
Berbeda dari Dayun dan Buantan Besar, Kampung Tualang menawarkan rona adaptasi yang lebih cerah. Karena keterbatasan lahan, warga di sini mengembangkan model ketahanan pangan berbasis pekarangan, tanaman cabai, jahe, tomat, kangkung, sawi, termasuk ikan dalam ember. Dari survei kecil terhadap 42 rumah tangga yang saya lakukan bersama Ketua Kelompok Wanita Tani, Ani Rahayu, muncul data menarik 88 persen rumah menanam sayur di pekarangan, 45 persen memelihara lele dalam ember, dan hampir sepertiga keluarga menanam cabai mandiri sebagai strategi menghadapi inflasi. “Saat harga naik, kami masih bisa bertahan,” kata Ani sambil menunjuk deretan polibag yang tersusun rapi.
Apa yang dilakukan Tualang membantu saya melihat bahwa ketahanan pangan tidak selalu tentang sawah luas atau produksi besar. Kadang ia hadir lewat pot kecil di halaman sempit, lewat kebiasaan menanam yang diwariskan dari ibu ke anak. Ketahanan pangan, pada titik ini, menjadi persoalan budaya.
Untuk menguatkan gambaran lapangan, saya membawa temuan ini kepada dua akademisi Universitas Riau. Dr. Reni Azwar menegaskan bahwa kawasan gambut seperti Siak berada pada “garis depan krisis pangan” jika tata air tidak ditata ulang secara menyeluruh. Sementara Dr. Kadarusman menjelaskan bahwa gambut punya relasi yang sangat sensitif terhadap curah hujan: terlalu kering ia kehilangan fungsi ekologisnya, terlalu basah ia mematikan akar tanaman. “Kita sedang berada dalam fase di mana keduanya terjadi bersamaan,” katanya.
Kolaborasi dengan para ahli ini memperkuat analisis bahwa ketahanan pangan Siak bukan hanya soal produksi, tetapi tentang keseluruhan sistem air, distribusi, regenerasi petani, dan diversifikasi pangan lokal seperti sagu, talas, keladi, dan pisang yang kini mulai kembali dibudidayakan di beberapa RT di Tualang.
Lalu di mana letak inovasi liputan ini? Selain analisis data lima tahun, saya membuat sketsa peta interaktif sederhana untuk membaca ulang hubungan antara lokasi lahan, pola banjir, dan jarak pasar desa. Dengan memetakan kembali rute distribusi di Dayun dan Buantan Besar, terlihat jelas bahwa semakin panjang rantai pasok, semakin besar risiko fluktuasi harga. Satu diskusi kecil bersama ekonom pangan lokal, Samsidar, menegaskan temuan itu: “Ketahanan pangan bukan hanya tentang produksi, tapi distribusi. Harga itu bumerang ketika rantai pasok terlalu panjang.”