Menu

Menanam Harapan di Tanah Siak: Ikhtiar Kolektif Mewujudkan Kemandirian Pangan

Lina 20 Nov 2025, 16:02
Ilustrasi
Ilustrasi

RIAU24.COM - Siak-  Di Sebuah pagi yang lembap di Buantan Besar, embun masih menggantung di helai-helai rumput ketika Halim, seorang petani berusia 58 tahun, berdiri memandangi hamparan sawah rawa yang perlahan berubah warna. “Musim sekarang datang seperti tamu tak diundang,” ujarnya pelan, seakan berbicara kepada tanah yang ia rawat seumur hidup. “Kadang cepat, kadang terlambat, kadang tidak datang sama sekali.” Kalimat itu membuka pintu bagi saya untuk menelusuri dinamika ketahanan pangan di daerah gambut Siak- sebuah wilayah yang tengah bergulat dengan situasi iklim yang makin tak menentu.

Liputan ini dilakukan selama beberapa minggu melalui kombinasi observasi lapangan di tiga desa - Buantan Besar, Dayun, dan Kampung Tualang - serta wawancara dengan petani, penyuluh, tokoh perempuan, dan akademisi yang selama ini menggali persoalan hidrologi gambut. Untuk membaca pola krisis dan adaptasi, saya juga mengolah data lima tahun terakhir, lalu memvisualisasikan tren sederhana melalui sketsa grafik produksi dan harga yang disandingkan dengan temuan lapangan. Di sisi lain, pendekatan liputan kolaboratif dilakukan dengan berdiskusi bersama penyuluh pertanian, dua petani muda Dayun, dan akademisi Universitas Riau yang membantu mengonfirmasi aspek hidrologi yang saya temui di lapangan. Metode campuran ini memungkinkan laporan ini bergerak bukan hanya secara deskriptif, tetapi juga analitis dan partisipatif.

Buantan Besar, yang selama puluhan tahun menjadi salah satu identitas padi rawa di Siak Hulu, kini menghadapi musim yang menyerupai teka-teki. Dalam catatan lima tahun terakhir, tren produksinya terus menurun, dari 4,1 ton per hektare pada 2020 menjadi hanya 3,0 ton per hektare pada 2024. Tahun 2022 bahkan menjadi titik terendah akibat kemarau ekstrem, sementara 2024 dihantam banjir awal tahun yang diikuti serangan tikus. Di ruang kecil rumahnya yang sederhana, penyuluh pertanian Lestari Sari menyampaikan kekhawatirannya kepada saya. “Kalau pintu air tidak ditata ulang, kita bukan hanya kehilangan produktivitas. Kita kehilangan karakter pertanian rawa,” katanya.

Dari diskusi kolaboratif itu terlihat jelas, persoalan utama bukan sekadar hama atau pupuk, melainkan krisis hidrologi. Gambut yang terlalu kering mempercepat kerusakan tanah, sementara genangan berkepanjangan merusak akar padi. Di sinilah Siak berada di persimpangan antara ekologi yang harus dijaga dan pertanian yang harus dipertahankan.

Jika Buantan Besar berkisah tentang air yang tidak lagi patuh, maka Dayun bercerita tentang harga yang tidak pernah jinak. Komoditas cabai, yang menjadi andalan ratusan keluarga, memiliki fluktuasi harga yang tajam, dari Rp 29.000 per kilogram pada 2022 tiba-tiba melonjak ke Rp 55.000 pada 2023, lalu turun lagi pada 2024. Bagi petani seperti Mutia, 27 tahun, volatilitas harga adalah badai yang tidak kalah mengkhawatirkan dibandingkan cuaca. “Saat panen banyak, harga jatuh. Saat gagal panen, harga melonjak. Selalu begitu,” ujarnya.

Dalam wawancara lain, Penghulu Kampung Dayun Nasya Nugrik menjelaskan bahwa semakin sedikit petani muda yang tertarik bertahan. Dari 126 petani, hanya 11 yang berusia di bawah 35 tahun. “Anak-anak muda tidak melihat pertanian sebagai masa depan,” katanya. Ketidakpastian harga ditambah perubahan iklim yang memanjangkan musim hujan membuat hama seperti ulat grayak muncul dalam pola yang tidak mereka kenal sebelumnya.

Untuk mengolah temuan ini, saya melakukan overlay sederhana antara grafik harga cabai dan catatan serangan hama yang diperoleh dari dua petani muda Dayun. Hasil overlay itu memberi gambaran menarik, ketika hujan memanjang, harga naik karena panen menyusut, ketika cuaca stabil, panen melimpah dan harga justru anjlok. Pola dualitas inilah yang menciptakan krisis pangan yang sifatnya psikologis petani takut menanam, tetapi tidak punya pilihan selain kembali ke tanah.

Berbeda dari Dayun dan Buantan Besar, Kampung Tualang menawarkan rona adaptasi yang lebih cerah. Karena keterbatasan lahan, warga di sini mengembangkan model ketahanan pangan berbasis pekarangan, tanaman cabai, jahe, tomat, kangkung, sawi, termasuk ikan dalam ember. Dari survei kecil terhadap 42 rumah tangga yang saya lakukan bersama Ketua Kelompok Wanita Tani, Ani Rahayu, muncul data menarik 88 persen rumah menanam sayur di pekarangan, 45 persen memelihara lele dalam ember, dan hampir sepertiga keluarga menanam cabai mandiri sebagai strategi menghadapi inflasi. “Saat harga naik, kami masih bisa bertahan,” kata Ani sambil menunjuk deretan polibag yang tersusun rapi.

Apa yang dilakukan Tualang membantu saya melihat bahwa ketahanan pangan tidak selalu tentang sawah luas atau produksi besar. Kadang ia hadir lewat pot kecil di halaman sempit, lewat kebiasaan menanam yang diwariskan dari ibu ke anak. Ketahanan pangan, pada titik ini, menjadi persoalan budaya.

Untuk menguatkan gambaran lapangan, saya membawa temuan ini kepada dua akademisi Universitas Riau. Dr. Reni Azwar menegaskan bahwa kawasan gambut seperti Siak berada pada “garis depan krisis pangan” jika tata air tidak ditata ulang secara menyeluruh. Sementara Dr. Kadarusman menjelaskan bahwa gambut punya relasi yang sangat sensitif terhadap curah hujan: terlalu kering ia kehilangan fungsi ekologisnya, terlalu basah ia mematikan akar tanaman. “Kita sedang berada dalam fase di mana keduanya terjadi bersamaan,” katanya.

Kolaborasi dengan para ahli ini memperkuat analisis bahwa ketahanan pangan Siak bukan hanya soal produksi, tetapi tentang keseluruhan sistem air, distribusi, regenerasi petani, dan diversifikasi pangan lokal seperti sagu, talas, keladi, dan pisang yang kini mulai kembali dibudidayakan di beberapa RT di Tualang.

Lalu di mana letak inovasi liputan ini? Selain analisis data lima tahun, saya membuat sketsa peta interaktif sederhana untuk membaca ulang hubungan antara lokasi lahan, pola banjir, dan jarak pasar desa. Dengan memetakan kembali rute distribusi di Dayun dan Buantan Besar, terlihat jelas bahwa semakin panjang rantai pasok, semakin besar risiko fluktuasi harga. Satu diskusi kecil bersama ekonom pangan lokal, Samsidar, menegaskan temuan itu: “Ketahanan pangan bukan hanya tentang produksi, tapi distribusi. Harga itu bumerang ketika rantai pasok terlalu panjang.”

Dari tiga desa ini saya belajar bahwa ketahanan pangan bukan hanya statistik, melainkan denyut kehidupan masyarakat yang setiap harinya berhadapan dengan alam yang kian berubah. Buantan Besar menuturkan cerita tentang air yang tidak menemukan keseimbangannya. Dayun berbicara tentang harga yang tidak pernah bersahabat, Tualang mengajarkan bahwa ketahanan pangan bisa tumbuh dari halaman rumah dan solidaritas perempuan yang tidak pernah menyerah.

Masa depan pangan Siak akan ditentukan oleh kemampuan masyarakatnya mengelola air, mempersingkat rantai pasar, menghadirkan teknologi ramah gambut, menghidupkan kembali pangan lokal, serta memastikan petani muda tetap tinggal di tanah mereka. Ketahanan pangan adalah soal produksi, tetapi juga soal harapan, soal ilmu, tetapi juga soal budaya, soal kebijakan, tetapi juga soal identitas masyarakat Melayu Siak yang bertahan di tengah perubahan.

Dan seperti pagi di Buantan Besar, embun di atas gambut itu mengingatkan saya bahwa di balik semua kerentanan, selalu ada peluang untuk tumbuh kembali.

Pada akhirnya, ketahanan pangan di Kabupaten Siak bukan hanya urusan pemerintah atau lembaga pendidikan semata, tetapi sebuah gerakan bersama yang menuntut kepedulian, keberanian mencoba, serta kesediaan untuk berubah. Kolaborasi antara masyarakat desa, pemangku kebijakan, lembaga swadaya, hingga dunia pendidikan terbukti mampu membuka peluang baru bagi hadirnya sistem pangan yang lebih mandiri dan berkelanjutan.

Langkah-langkah sederhana seperti optimalisasi lahan pekarangan, pemanfaatan teknologi hidroponik skala rumah tangga, pelatihan budidaya bagi generasi muda, hingga pemetaan potensi pangan lokal adalah contoh tindakan kecil yang dapat memberi dampak besar bila dilakukan secara konsisten. Dengan menguatkan data, memperluas literasi pangan, dan mendukung inovasi berbasis kearifan lokal, Kabupaten Siak memiliki modal kuat untuk membangun sistem pangan yang tangguh di masa depan.

Praktik baik dari berbagai desa menunjukkan bahwa ketahanan pangan bisa dimulai dari keputusan paling sederhana, menanam, merawat, berbagi, dan menjaga keberlanjutan. Dari desa untuk daerah, dari masyarakat untuk masa depan ketahanan pangan adalah perjalanan panjang yang harus dimulai hari ini, oleh kita semua.(Lina Lestari)