Menu

Revisi UU Tentang MK Tuai Kritikan Tajam, Kali Ini Datang dari Mantan Hakim, Begini Katanya

Siswandi 8 May 2020, 13:20
Ilustrasi
Ilustrasi

RIAU24.COM -  Rencana revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan diajukan Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas, kembali menuai kritikan tajam. Kali ini, kritikan datang dari mantan hakim MK, I Dewa Gede Palguna, yang tak lain adalah hakim MK periode 2003-2008 dan 2015-2020. 

Ada beberapa hal yang dikritiknya. Pertama, adalah muatan revisi yang dinilai tidak substantif serta cacat prosedural. Selain itu, proses revisi juga ikut dikritik, karena dilaksanakan dalam waktu yang tidak tepat.

Menurutnya, salah satu syarat sebagai negara demokrasi yang konstitusional adalah keterlibatan rakyat dalam proses pembentukan undang-undang. Karena itu, ia menilai pengajuan revisi UU MK di tengah masa krisis disebabkan pandemi COVID-19 merupakan sebuah demoralisasi politik.

"Bagaimana mungkin ada keterlibatan rakyat di situ (proses pembentukan UU ketika perhatian kita tertuju pada COVID-19)," ujar Palguna, yang juga doktor bidang hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam diskusi virtual yang dikutip detik, Kamis (7/5/2020) kemarin.

Tak Substantif 
Menurutnya, sebenarnya banyak muatan dalam UU MK sekarang yang patut diperbaiki. Sayangnya, usulan revisi yang diajukan saat ini hanya berkisar soal perpanjangan usia hakim dan perpanjangan masa jabatan pimpinan MK.

"Yang diajukan itu persoalan yang tidak substantif. Sudah tidak substantif, motivasinya patut dipertanyakan. Dengan rumusannya demikian, orang tidak punya alternatif lain untuk berpikir bahwa itu ada permainan," ujar anggota MPR RI periode 1999-2004 sebagai utusan daerah itu.

Untuk diketahui, salah satu perubahan yang diusulkan adalah kenaikan usia minimal hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 60 tahun. 

Awalnya, berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK, calon hakim konstitusi minimal berusia 47 tahun.  Pasal 15 ayat 1 huruf d UU Nomor 8 Tahun 2011 berbunyi "Berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan".

Dalam RUU MK, pasal di atas berubah menjadi: "Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat berusia paling rendah 60 (enam puluh) tahun."

Kemudian Pasal 87 huruf c berbunyi, "Apabila hakim konstitusi pada saat jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud pada huruf b telah berusia 60 (enam puluh) tahun, maka meneruskan jabatannya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun."

Selain soal usia minimal, RUU MK mengubah masa jabatan Ketua/Wakil Ketua MK. Saat ini, masa jabatan Ketua/Wakil Ketua MK 2,5 tahun dan akan menjadi 5 tahun dalam RUU MK itu.

Menurut Palguna, titik pokok revisi UU MK sebaiknya lebih ditujukan untuk mengoptimalisasi pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara. Dia menyebut ada masalah pengujian pada konstitusionalitas penerapan undang-undang yang tidak terjangkau dengan UU MK yang berlaku saat ini.

"Harus ada perluasan pengertian pengujian UU, selain pengujian terhadap konstitusionalitas norma UU tapi juga konstitusionalitas tindakan pejabat publik dalam menerapkan UU itu yang bisa berujung pada dirugikannya hak-hak konstitusional warga negara," pungkasnya. ***