Menu

Gara-gara Omongan Ini, Anggota DPR RI Ini Sebut Narasi Gatot Nurmantyo Membodohi Nalar

Ryan Edi Saputra 25 Sep 2020, 12:04
Wily Aditya
Wily Aditya

RIAU24.COM - JAKARTA - Pernyataan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang menyebut komunis telah muncul sejak 2008 silam, menuai kritik dari sejumlah kalangan. Pasalnya, Gatot dinilai hanya cuap-cuap semata tanpa bisa membuktikan secara nyata.

Dikatakan anggota Komisi I DPR RI, Willy Aditya, status PKI dan komunis masih menjadi paham terlarang di Indonesia. Sama seperti beberapa paham lain yang bertentangan dengan Pancasila yang telah ditetapkan oleh produk keputusan negara terkait pelarangannya.

“Jadi hal semacam itu tidak perlu lagi diungkit lewat narasi yang irasional dan membodohi nalar publik. Sudahilah praktik semacam itu,” ucap Willy mengutip Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (25/9/2020).

Politikus Partai Nasdem ini meminta Gatot untuk lebih membangun nilai dan pendidikan politik yang mampu mencerdaskan bangsa. Politik yang berorientasi pada kebaikan bersama. Karena hal-hal itulah, kata Willy, politik kemudian ada dalam kehidupan umat manusia. 

Willy pun mengajak Gatot untuk berpikir bahwa politik bukanlah sesuatu wadah untuk dapat berkuasa. Politik merupakan ruang bagi seluruh warga Indonesia untuk mengabdi kepada sesuatu yang lebih mulia dibandingkan kepentingan sendiri.

 “Politik itu bukan soal kekuasaan semata. Kalau hanya kekuasaan, tanpa politik pun itu bisa diselenggarakan dan diadakan. Politik itu lebih dari soal soal kontestasi kekuasaan,” ujarnya. 

“Karena itulah negara ini disebut republik; berasal dr kata res publica (bersifat umum), bukan res privata (bersifat pribadi). Jadi negara ini bukan urusan pribadi dan ditujukan bagi kepentingan pribadi ataupun golongan. Melainkan urusan bersama dan ditujukan bagi kepentingan dan kebaikan bersama pula. Dalam bahasa Bung Karno dulu: semua untuk semua,” tegasnya. 

Willy juga meminta Gatot memiliki kesadaran dalam berpolitik. Tidak mengedepankan ambisi untuk merebut kekuasaan. Dengan kesadaran semacam ini, politik menjadi tinggi derajatnya, demikian juga dengan para pelakunya.

Sebaliknya, kalau politik dimaknai hanya soal kekuasaan saja dan cara yang digunakan adalah cara politik sengkuni, ya jangan heran kalau politik akan selalu dimaknai negatif dan derajatnya tidak jauh seperti solokan: kotor,” demikian Willy Aditya.