Menu

Peneliti Korsel Ciptakan Nasi yang Mengandung Sapi, Rendah Karbo-Tinggi Protein

Devi 17 Feb 2024, 14:33
Peneliti Korsel Ciptakan Nasi yang Mengandung Sapi, Rendah Karbo-Tinggi Protein
Peneliti Korsel Ciptakan Nasi yang Mengandung Sapi, Rendah Karbo-Tinggi Protein

RIAU24.COM -  Peneliti Korea Selatan belakangan menciptakan nasi yang terbuat dari campuran daging sapi. Konon kaya akan gizi dan jumlah karbohidrat yang terkandung lebih rendah, sementara jumlah protein lebih tinggi.
Mungkin yang terbayang selama ini adalah daging ditaruh di atas semangkuk nasi. Namun, tidak dengan nasi satu ini. Sapi benar-benar terkandung di dalam nasi itu sendiri.

Klaim gizi dari nasi sapi tersebut adalah seperti berikut:

Tim peneliti Korsel membuatnya dengan padi hibrida yang baru mereka kembangkan, ditanam di laboratorium dengan sel otot dan lemak sapi dalam butiran beras.

Beras kemudian berubah menjadi warna merah muda, sumber protein di dalamnya disebut menjawab kebutuhan protein tinggi masyarakat dengan harga lebih murah.

"Bayangkan memperoleh semua nutrisi yang kita butuhkan dari beras protein hasil kultur sel," kata penulis utama Sohyeon Park dalam rilis berita pada hari Rabu, ketika penelitian tersebut dipublikasikan di jurnal Matter.

"Beras sudah memiliki tingkat nutrisi yang tinggi, namun menambahkan sel dari ternak dapat meningkatkannya lebih lanjut."


Cara Peneliti Membuat Nasi Sapi

Pertama-tama, mereka melapisi nasi dengan gelatin ikan untuk membantu sel-sel daging menempel lebih baik. Kemudian, mereka memasukkan sel induk otot dan lemak sapi ke dalam butiran beras, yang kemudian dikultur dalam cawan petri.

Hewan memiliki 'perancah biologis' mikroskopis yang membantu sel tumbuh membentuk jaringan dan organ, dan butiran beras memiliki struktur berpori, terorganisir, yang meniru perancah ini, serta molekul yang selanjutnya memberi nutrisi pada sel-sel ini.

Sel-sel daging tersebut kemudian tumbuh di permukaan bulir beras dan di dalam bulir itu sendiri. Setelah sekitar 9 hingga 11 hari, produk akhirnya tersedia. Menurut riset tersebut, tekstur dan rasa nasi sapi mengingatkan pada sushi daging sapi.

Memiliki tekstur, profil nutrisi, dan rasa yang berbeda dari butiran beras tradisional.

Nasi daging sapi lebih keras dan lebih rapuh dibandingkan nasi biasa yang teksturnya lengket dan lembut, serta lebih tinggi protein dan lemaknya, demikian temuan studi tersebut. Para ilmuwan mengukus nasi tersebut untuk menganalisisnya, dan menemukan bahwa nasi dengan kandungan otot lebih tinggi lebih berbau seperti daging sapi dan almond, sedangkan nasi dengan kandungan lemak lebih tinggi, berbau seperti krim atau minyak kelapa.

"Bahan makanan baru yang dapat mengatasi krisis pangan umat manusia telah diciptakan," demikian pernyataan studi tersebut, seraya menambahkan bahwa solusi baru sangat penting dalam mengatasi meningkatnya masalah kesehatan, risiko penyakit menular, perubahan iklim, dan kelangkaan sumber daya.

Park mengatakan timnya telah bereksperimen dengan berbagai jenis produk makanan, namun model sebelumnya tidak begitu berhasil. Misalnya, mereka mencoba memasukkan sel daging hewani ke dalam kedelai dengan menggunakan metode serupa, tetapi perancah seluler pada kedelai terlalu besar, sehingga konsumen tidak dapat merasakan tekstur seperti daging.

Alternatif daging dan inovasi pangan baru telah menjamur selama beberapa tahun terakhir, mulai dari pilihan nabati seperti Beyond Meat hingga daging yang dikembangkan di laboratorium yang semuanya bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, khususnya yang dihasilkan oleh peternakan.

Sistem peternakan bertanggung jawab atas 6,2 miliar metrik ton karbon dioksida yang memasuki atmosfer setiap tahunnya. Angka tersebut setara dengan 12 persen dari total emisi yang disebabkan oleh aktivitas manusia, menurut data PBB. Produksi daging sapi merupakan produksi yang paling intensif karbon.

Namun banyak produk alternatif daging yang kesulitan menembus pasar umum dan menarik konsumen, setelah debut pasar yang sangat sukses pada 2019, Beyond Meat kehilangan dukungan investor dan pendapatannya anjlok.

Kelompok peneliti Korea mengatakan produk mereka mungkin memiliki keunggulan, penelitian ini menggunakan bahan-bahan yang aman, mudah diakses, dan terjangkau, menjadikan produk akhir berkelanjutan untuk diproduksi dan ramah kantong. ***