Menu

Kisah Gambut dan Sagu, Bersama RAPP Merawat sang Permata Kehidupan di Kepulauan Meranti

Devi 10 May 2025, 21:30
Kisah Gambut dan Sagu, Bersama RAPP Merawat sang Permata Kehidupan di Kepulauan Meranti
Kisah Gambut dan Sagu, Bersama RAPP Merawat sang Permata Kehidupan di Kepulauan Meranti

Dalam setengah hari, Bakri mengaku sudah puluhan kali bolak-balik dari titik kebun sagu yang sedang dipanen ini menuju ke tepian laut yang jaraknya kurang lebih 2,5 kilometer. Nantinya dari tepian laut, akan ada yang mengambil batang sagu dengan menggunakan perahu, untuk kemudian dikirim ke pabrik tepung sagu.

“Pekerjaan ini membutuhkan tenaga yang kuat dan resikonya yang besar. Apalagi batang sagu ini banyak durinya, belum nanti ada ularnya juga. Tapi demi keluarga apapun saya lakukan, asal pekerjaan itu halal” ungkap Bakri, sesekali mengusap keringatnya yang bercucuran dengan menggunakan kaos lusuh yang ditubuhnya.

Berbeda dengan Bakri yang sudah puluhan tahun makan asam garam menjadi buruh panen sagu, Abu (30) menceritakan pengalamannya sebagai buruh tukang nebang batang sagu.  

Dalam sehari dia mengaku bisa menebang rata-rata 100 tanaman sagu. Tangannya yang cekatan tampak terampil menggunakan mesin gergaji. Bekerja sejak jam 06.00 WIB sampai dengan jam 04.00 WIB, Abu hanya punya waktu untuk beristirahat dari jam 10.00-13.00 WIB. Tanaman sagu yang selesai ditebang kemudian dibersihkan dan dipotong menjadi 5-7 bagian, tergantung besar tingginya sagu.

Dengan beratnya pekerjaan yang mereka lakukan, Abu mengaku sudah seminggu meninggalkan keluarga di rumah. Dalam sehari ia mengaku dibayar Rp 100 ribu dari pemilik sagu. Tentu itu nilai yang sangat kecil, jika dibandingkan dengan tenaga yang ia keluarkan.

Cerita Abu dan Bakri hanyalah dua dari ribuan kisah sedih para buruh pemanen sagu.

Halaman: 123Lihat Semua