Menu

Kisah Gambut dan Sagu, Bersama RAPP Merawat sang Permata Kehidupan di Kepulauan Meranti

Devi 10 May 2025, 21:30
Kisah Gambut dan Sagu, Bersama RAPP Merawat sang Permata Kehidupan di Kepulauan Meranti
Kisah Gambut dan Sagu, Bersama RAPP Merawat sang Permata Kehidupan di Kepulauan Meranti

Menjaga hutan yang tersisa adalah tradisi turun temurun warga di Kepulauan Meranti sejak nenek moyang dahulu. Pohon yang ditebang tidak boleh sembarangan. Pohon-pohon besar harus dilindungi dan tidak dirusak sama sekali. Karena selain menjadi penyangga hutan, pohon juga menjadi batas lahan masing-masing warga. Masyarakat diajarkan jika menebang pohon harus diganti dengan tanaman sagu.

RIAU24.COM - Debu yang beterbangan menutupi jarak pandang ketika satu persatu truk yang membawa hasil kebun seperti batang sagu dan sawit melintasi jalan aspal di Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. 

Berada di hamparan pulau, Sungai Tohor menyimpan banyak potensi alam. Salah satunya adalah sagu. Konon kabarnya, kualitas sagu Sungai Tohor ini sangat baik. Di daerah rawa bergambut desa itu, pohon sagu tumbuh dengan subur hingga ribuan hektar. Sagu dan gambut merupakan dua hal tak terpisahkan bagi masyarakat Desa Sungai Tohor karena menjadi intan serta permata kehidupan dari sejak dahulu kala.

Di sebuah lahan gambut kering, seorang pria tampak terseok-seok membawa tumpukan batang pohon sagu yang terikat dengan tali bekas ban dalam diatas gerobak. Gerobak ditarik menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Dibawah terik matahari yang menyengat, ia berjalan pelan untuk menjaga keseimbangan agar batang sagu yang dia bawa tidak berhamburan ke tanah.

Gerobak merupakan salah satu alat transportasi yang digunakan oleh warga di kabupaten berjuluk Kota Terubuk ini untuk membawa hasil kebun, tidak terkecuali batang tanaman kaya karbohidrat itu. “Sagu ini mau saya bawa ke tepi laut, nanti balik lagi ke kebun,” ujar pria bernama Bakri (35), Kamis (18/03/2025).

Dalam setengah hari, Bakri mengaku sudah puluhan kali bolak-balik dari titik kebun sagu yang sedang dipanen ini menuju ke tepian laut yang jaraknya kurang lebih 2,5 kilometer. Nantinya dari tepian laut, akan ada yang mengambil batang sagu dengan menggunakan perahu, untuk kemudian dikirim ke pabrik tepung sagu.

“Pekerjaan ini membutuhkan tenaga yang kuat dan resikonya yang besar. Apalagi batang sagu ini banyak durinya, belum nanti ada ularnya juga. Tapi demi keluarga apapun saya lakukan, asal pekerjaan itu halal” ungkap Bakri, sesekali mengusap keringatnya yang bercucuran dengan menggunakan kaos lusuh yang ditubuhnya.

Berbeda dengan Bakri yang sudah puluhan tahun makan asam garam menjadi buruh panen sagu, Abu (30) menceritakan pengalamannya sebagai buruh tukang nebang batang sagu.  

Dalam sehari dia mengaku bisa menebang rata-rata 100 tanaman sagu. Tangannya yang cekatan tampak terampil menggunakan mesin gergaji. Bekerja sejak jam 06.00 WIB sampai dengan jam 04.00 WIB, Abu hanya punya waktu untuk beristirahat dari jam 10.00-13.00 WIB. Tanaman sagu yang selesai ditebang kemudian dibersihkan dan dipotong menjadi 5-7 bagian, tergantung besar tingginya sagu.

Dengan beratnya pekerjaan yang mereka lakukan, Abu mengaku sudah seminggu meninggalkan keluarga di rumah. Dalam sehari ia mengaku dibayar Rp 100 ribu dari pemilik sagu. Tentu itu nilai yang sangat kecil, jika dibandingkan dengan tenaga yang ia keluarkan.

Cerita Abu dan Bakri hanyalah dua dari ribuan kisah sedih para buruh pemanen sagu.

Meski Sungai Tohor menjadi sentra produksi sagu Kepulauan Meranti, namun sagu belum menjadi komoditi bernilai tinggi. Rata-rata masyarakat di sana menyambung hidup sejak puluhan tahun lalu dari lahan seluas 39.664 hektar. namun sagu belum mampu menjadi harapan warga Meranti untuk perekonomian yang lebih baik.  

Dikenal sebagai Negeri Sagu, Kepulauan Meranti sukses jadi penghasil sagu terbesar di Indonesia bahkan dunia. Jika ditilik dari kacamata ekonomi, identitas itu seharusnya menjadi kebanggaan bagi warga Meranti. Namun, kenyataannya justru menyimpan banyak ironi, tampilan luarnya tak seindah isi di dalamnya.

Ada luka yang sulit sembuh di balik kejayaan industri sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti, yaitu harga sagu yang dikendalikan oleh cukong di Pulau Jawa. Meskipun para petani sagu bekerja keras dari pagi hingga malam, mereka hanya mendapat upah kecil dari hasil panen sagu atau menanam sagu.

Para pengepul besar di Pulau Jawa memegang kendali penuh atas harga. Disana berlaku sistem ijon, di mana pengusaha menerima pembayaran lebih awal sebelum produksi, membuat mereka terikat kontrak dan tidak memiliki pilihan lain.

"Kami terpaksa menjual ke sana karena mereka berani membeli dalam jumlah besar. Padahal, Meranti yang punya sagu, tapi yang menentukan harga justru orang di Jawa. Kalau ada pengepul lain, kami tidak akan menjual lagi ke Cirebon," ujar Atan, salah satu pengusaha sagu di Meranti.

Untuk harga tanaman sagu di tingkat petani, katanya, perbatangnya saat ini Rp 38 ribu.

Deputi Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut Republik Indonesia, Haris Gunawan mengatakan, dari data yang diperolehnya, pada tahun 2019, luas perkebunan sagu di Kepulauan Meranti sekitar 39.644 hektar dengan melibatkan sebanyak 8.002 petani. Kondisi Meranti yang dikelilingi gambut, membuat sagu sangat cocok untuk tumbuh, karena tanah gambut menyimpan banyak air sementara pohon sagu membutuhkan secukupnya air.

"Sagu di Meranti ini bagaikan permata yang terpendam dan belum dipoles dengan benar. Padahal jika diolah dengan benar dan baik maka akan menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi," ungkap Haris.

Komitmen RAPP Dalam Membantu Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Pohon sagu yang tumbuh bagus meskipun tumbuh bersama kayu alam di lahan gambut, menjadi perhatian PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) untuk melestarikan hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dilansir dari Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau, untuk produksi tanaman sagu yang ada di Riau mampu mencapai hingga 246.000 ton/tahun yang dihasilkan dari lahan seluas 87.000 hektar. Untuk sebatang pohan sagu siap panen, dapat menghasilkan 180 sampai 400 kilogram tepung sagu kering. 

Sebagai salah satu perusahaan bubur kertas dan kertas terbesar di Asia, RAPP menunjukkan komitmennya dalam menyalurkan tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR), kepada masyarakat di wilayah operasional perusahaan.

Tak pelak, keberadaan RAPP telah membawa dampak berarti bagi masyarakat di Kepulauan Meranti, terutama bagi petani sagu.  

"Sejak tahun 2010 lalu, RAPP melalui Program CSR sudah melaksanakan berbagai kegiatan termasuk di Kabupaten Kepulauan Meranti untuk mendukung pengembangan masyarakat, maupun sosial budaya. Ini adalah salah satu visi kami untuk tumbuh dan berkembang bersama masyarakat atau yang kami sebut dengan good for community," sebut CD Head RAPP F Leohansen Simatupang, Kamis (4/4/2024) lalu.

Manfaat yang diterima masyarakat di Kepulauan Meranti, mulai dari bantuan sektor pembangunan infrastruktur dan Sumber Daya Manusia (SDM), hingga kemajuan perekonomian.

Sepanjang tahun 2023, Program CSR dan Community Development (CD) RAPP di Kepulauan Meranti telah menyalurkan bantuan dalam bentuk beragam program. Mulai dari Program Agribisnis, Program Pengembangan UMKM, bantuan beasiswa, bantuan peningkatan sekolah, bantuan kesehatan masyarakat, bantuan sosial budaya, bantuan sosial infrastruktur, bantuan desa bebas api, hingga bantuan tanaman kehidupan.

Dalam pengembangan ekonomi, RAPP memberikan bantuan teknis bagi 6 kelompok tani dalam program agribisnis diantaranya usaha pengelolaan makanan berbahan dasar sagu.

"Hal ini relevan untuk memperkuat sumber pangan lokal yakni sagu yang memang banyak tersedia di Kabupaten Kepulauan Meranti. Pengelolaan sagu secara berkelanjutan serta penataan aspek hulu hilir industri sagu mampu merevitalisasi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar lahan gambut," tambah Leo.

Sebagai perusahaan yang beroperasi di negara berkembang, APRIL Group serius menjalankan komitmennya untuk memastikan kegiatan usaha yang berkelanjutan sembari mendorong kemajuan bagi masyarakat yang juga berdampak positif untuk iklim dan lingkungan di sekitarnya.

RAPP memiliki komitmen untuk tumbuh selaras dengan pertumbuhan masyarakat dan memberikan manfaat kepada masyarakat desa di sekitar operasionalnya. Komitmen RAPP tersebut tertuang dalam MoU antara APRIL Group dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Republik Indonesia yang telah ditandatangani pada 20 Maret 2023.

Direktur Utama PT RAPP Sihol Aritonang mengatakan, kolaborasi dengan Kemendes PDTT merupakan bagian dari upaya April Group merealisasikan komitmen terhadap kemajuan inklusif yang tertuang dalam visi transformatif perusahaan terhadap pembangunan berkelanjutan yang disebut April2030.

"Salah satu komitmen kita ialah bisnis harus tumbuh selaras dengan pertumbuhan masyarakat yang ada di sekitarnya. Pembangunan desa tidak mudah, apalagi yang kita angkat ialah persoalan kemiskinan, stunting, kesehatan, pendidikan, perlu keterlibatan multistakeholders melalui skema public private partnership," jelas Sihol.

Sejak 2018, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) memiliki kepedulian untuk mendukung adanya UMKM di Kepulauan Meranti khususnya di Teluk Belitung Kecamatan Merbau.

RAPP telah menunjukan komitmen yang kuat untuk membantu Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di seluruh pelosok dimana tempat perusahaan beroperasi.

Komitmen tersebut, diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti pemberian modal usaha, kegiatan pelatihan UMKM dan lainnnya. Pelatihan itu dalam rangka membantu meningkatkan ekonomi keluarga dengan jalan mengembangkan sebagai usaha kecil sehingga dapat meningkatkan ekonomi warga. Kini sagu dari Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau sudah banyak diolah untuk bahan pembuatan kuliner dan diekspor ke luar negeri. Produk olahan sagu menjadi satu di antara produk unggulan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di daerah gerbang lintas batas negara/pintu gerbang internasional yang menghubungkan Riau daratan dengan negara tetangga melalui jalur laut.

Meski hanyalah tumbuhan endemik rawa gambut Indonesia, tapi kini sagu menjadi terobosan untuk dikembangkan menjadi komoditi nasional.

Program Desa Bebas Api atau Fire Free Village Programme (FFVP)

Sejak 2015, APRIL Group telah menerapkan kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (Sustainable Forest Management Policy) 2.0. Pada tahun 2020, APRIL memperkuat komitmen keberlanjutannya dengan meluncurkan APRIL2030, yang bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap iklim, alam, dan masyarakat, sekaligus tumbuh menjadi perusahaan yang berkelanjutan pada 2030. Komitmen ini mencakup serangkaian aksi nyata untuk mencapai target Iklim Positif, Lanskap yang Berkembang, Kemajuan Inklusif, dan Pertumbuhan Berkelanjutan.

Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk mencapai target keberlanjutan jangka panjang perusahaan, tetapi juga mendukung agenda nasional FOLU Net Sink 2030, yang berfokus pada penyerapan karbon bersih di sektor kehutanan dan penggunaan lahan melalui praktik konservasi serta pengelolaan hutan yang berkelanjutan.

Salah satu komitmen yang ditunjukkan oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) adalah untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Provinsi Riau. Sejak dimulai pada 2014 silam, Program Desa Bebas Api atau Fire Free Village Programme (FFVP) RAPP telah melibatkan 42 desa di lima kabupaten se-Riau.

Dengan luas area yang mencapai 902.872 hektar, program ini telah memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat. Program Desa Bebas Api atau Fire Free Village Programme (FFVP) dinilai efektif menekan angka kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Program yang diinisiasi oleh RAPP tersebut melibatkan sebanyak 10 desa yang berada di Kabupaten Kepulauan Meranti. Program ini terbukti mampu mencegah karhutla di 750 ribu hektar lahan yang berada di tiga Kabupaten di Riau, yakni Pelalawan, Siak dan Kepulauan Meranti.

Di tahun 2015 lalu, Desa Tohor pernah menjadi perhatian ketika terjadi kebakaran lahan yang hebat. Asap kebakaran lahan tidak hanya menutupi sebagian besar wilayah Riau tapi juga menyeberang ke Malaysia.

Oleh sebab itu, untuk merestorasi gambut di wilayah Kepulauan Meranti terutama dalam hal menjaga intensitas air, pohon sagu dinilai cocok untuk terus dibudidayakan karena tidak membuat gambut kering dan meminimalisasi kebakaran hutan. Menjaganya tetap basah dengan sistem perairan memadai tak akan lagi menimbulkan kebakaran lahan hebat , tapi hanya riak-riak yang bisa dipadamkan dalam hitungan jam. Apalagi gambut di Desa Tohor dan di berbagai desa lainnya di Kepulauan Meranti sangatlah unik dibanding tanah serupa di Riau atau Indonesia. Gambutnya sangat rapuh karena hanya mendapat air dari hujan.

Bupati Kepulauan Meranti kala itu, Irwan Nasir mengatakan program FFVP sangat baik dalam menjaga ekosistem dan lingkungan dari kebakaran di Meranti.

“Musim kemarau berpotensi menimbulkan Kebakaran Lahan dan Hutan (Karhutla), kita harus bersama-sama menggalang kerjasama dengan semua pihak untuk bersama-sama menyelesaikan masalah karhutla. Kami mendukung penuh program Desa Bebas Api ini karena mencegah lebih baik daripada memadamkan,” tutur Irwan saat kegiatan Penandatanganan Nota Kesepahaman Program Desa Bebas Api, Selasa (30/6/2020) lalu, di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Stakeholder Relation (SHR) Manager wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti, Susilo Sudarman mengatakan pihak RAPP menilai Kabupaten Kepulauan Meranti memiliki banyak hutan tropis dan rawa gambut, sehingga kondisi ini perlu menjadi perhatian semua pihak khususnya dimusim kemarau yang rentan terjadi karhutla.

Susilo menjelaskan, program FFVP memiliki 5 elemen utama yaitu reward senilai 100 juta rupiah dalam bentuk program kepada desa yang tidak terjadi kebakaran selama 3 bulan, keterlibatan crew leader untuk mendukung pencegahan kebakaran, bantuan pembukaan lahan melalui peralatan pertanian, sosialisasi dan edukasi ke masyarakat termasuk anak-anak sekolah yaitu Fire Aware Community (FAC) serta pemantauan kualitas udara melalui perangkat PM10 di 7 desa.

Tak hanya itu, RAPP juga membangun 938 sekat kanal di wilayah pesisir Riau tersebut sebagai salah satu upaya dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Direktur RAPP Rudi Fajar mengatakan, “Pembangunan sekat kanal atau canal blocking menjadi salah satu sistem pengelolaan tata air gambut dalam mengatasi kekeringan. Kami telah membangun 938 sekat kanal, khususnya di wilayah pesisir Riau, yaitu kabupaten Pelalawan, Kepulauan Meranti dan Siak," katanya, Rabu (27/4) lalu.

Tak tanggung-tanggung, untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla)PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) telah menginvestasikan kurang lebih USD10 juta.

Konsesi lahan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Pemerintah Kabupaten Meranti

Dalam menjalankan bisnis dan mengelola hutan secara berkelanjutan, APRIL Group selalu mengedepankan pendekatan produksi-proteksi. Praktik pengelolaan hutan secara berkelanjutan juga dipertegas lewat SFMP 2.0. Melalui komitmen 1-for-1, APRIL mengonservasi area hutan alam seluas area hutan tanaman industri yang dikelola.

Salah satu pendekatan produksi-proteksi yang dilakukan adalah di Desa Bagan Melibur, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Saat ini, Pemerintah Desa (Pemdes) Bagan Melibur menjalin kerjasama dengan RAPP lewat pengelolaan 200 hektare lahan.

Dari hasil kerja sama konsesi lahan tersebut Pemdes Bagan Melibur, memperoleh Pendapatan Asli Desa (PADes) yang mampu berkontribusi terhadap pembangunan di desa.

Dalam petikan nota kesepahaman, RAPP sebagai pihak pertama, mengalokasikan lahan seluas 200 hektare untuk ditanami tanaman akasia dalam areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). RAPP menanggung biaya penanaman maupun pengelolaan akasia sepenuhnya dan berhak atas keseluruhan tanaman tersebut.  

Kepala Desa Bagan Melibur, Isnadi Esman, lewat pesan tertulis, seperti dilansir Riau24.com dari Tempo, Ahad 27 April 2025, mengatakan, “Perusahaan wajib memberikan kompensasi sebesar Rp 5,2 juta per hektare tiap sekali daur atau lima tahun. Jika dikalikan 200 hektare, maka total kompensasi mencapai Rp 1,04 miliar. Itu konsekuensi sosial bagi perusahaan yang memberikan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitar desa.”

Karena penyaluran kompensasi diwajibkan per tahun, maka RAPP wajib menyetor Rp 208 juta ke rekening kas desa, sehingga tercatat di sistem keuangan desa sebagai PADes yang bersumber dari Pendapatan Lain-lain (PLL)

Dalam pasal kompensasi juga tertuang besarannya akan meningkat Rp 200.000 per hektare untuk setiap daur berikutnya. Artinya, pada lima tahun kedua akan ada penambahan Rp 40 juta setoran dari RAPP ke rekening desa. Kesepakatan ini berlangsung selama lima daur atau setara 25 tahun.

“Skemanya hampir sama dengan tanaman kehidupan. Namun karena dasar regulasi Permen (Peraturan Menteri) mengenai tanaman kehidupan sudah dihapus, kami bersepakat untuk MoU (Memorandum of Understanding) nya dinamakan kerja sama konsesi,” pungkas Isnadi.

Isnadi mengatakan RAPP tidak meminta imbal balik apa pun. Tapi dalam salah satu poin kesepahaman disepakati, masing-masing pihak secara bersama menjaga areal dan wilayah dari risiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Sejatinya alam adalah warisan untuk anak cucu. Upaya APRIL Group yang menumbuhkan perekonomian tanpa perlu merusak hutan patut diacungi jempol.

Lewat refleksi 5 tahun APRIL2030 menunjukkan bahwa APRIL Group telah membuat kemajuan signifikan dalam upaya menjaga keberlanjutan dan kolaborasi untuk masa depan. Inisiatif APRIL Group dalam konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat telah memberikan dampak positif yang signifikan.

RAPP mampu mendorong pemulihan ekonomi hijau yang berkelanjutan melalui kerja sama dengan berbagai pihak, terutama dalam hal restorasi dan konservasi hutan. RAPP tidak hanya berbicara tentang keuntungan melainkan juga tentang masa depan serta pemulihan ekonomi hijau yang berkelanjutan (sustainability) di Indonesia. ***