Ngeri! Budaya Kerja Jepang Berujung Kematian, Warga Ramai-ramai Minta Resign
Watanabe telah menyaksikan sendiri betapa sulitnya hal ini. Beberapa karyawan terus didesak untuk bertahan, sementara yang lain menemukan surat pengunduran diri mereka diabaikan atau bahkan disobek.
"Saat menghubungi perusahaan terkait pengunduran diri, kami kadang mendapat kata-kata kasar dari pihak manajemen," katanya, seraya menambahkan bahwa komentar-komentar tersebut bisa mendekati bentuk pelecehan verbal. "Dalam situasi seperti itu, beberapa orang merasa terganggu secara mental, bahkan putus asa," jelas dia, dikutip dari CNA.
Kenaikan jumlah agensi pengunduran diri, yang mulai muncul sekitar 2017, menyingkap sisi gelap budaya kerja Jepang, tempat kerja yang sangat hierarkis kerap memberi kekuasaan yang tidak seimbang kepada atasan, jam kerja panjang dan lembur tak dibayar menjadi hal yang umum, bahkan diharapkan.
Mengambil cuti juga sulit. Rata-rata, pekerja sektor swasta hanya mengambil 62 persen dari jatah cuti mereka, menurut survei pemerintah tahun 2023.
Meski reformasi telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, perubahan tetap lambat. Akibatnya, bisnis agensi pengunduran diri terus berkembang pesat, terutama setelah pandemi.
"Awalnya kami hanya menerima beberapa lusin permintaan per bulan. Tapi sekarang kami mendapat lebih dari 1.800 permintaan per bulan," kata pendiri Momuri, Shinji Tanimoto, 35 tahun.