Kepastian Hukum dalam Proses Pencalonan Kepala Daerah
RIAU24.COM - Demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini pasca reformasi memperlihatkan dinamika yang mengalami regresi demokrasi, meskipun ditengah kemajuan zaman, ekonomi, teknologi, dan kebudayaan ditengah masyarakat. Transformasi sosial demokrasi yang berlangsung sejak reformasi begitu cepatnya mengalami kemajuan dan tak luput mengalami juga regresi demokrasi yang tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga oleh kelompok atau golongan masyarakat yang memiliki kepentingan politik. Salah satu fenomena paling menonjol adalah pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Indonesia, yang selalu tarik menarik menimbulkan masalah hukum disebabkan dengan kepentingan kelompok atau golongan dalam kontestasi kedaerahan. Bukti nyatanya dalam aturan main pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 2024 yang lalu di beberapa daerah misalnya Kabupaten Tasik Malaya, Bengkulu Selatan dan Kutai Kartanegara yang sudah ditetapkan calon terpilih hasil coblosan, kemudian karena terjadinya ketidakpastian hukum aturan main sehingga di batalkan keterpilihannya.
Hukum menjadi benteng politik dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia agar memberikan keteraturan dan tidak sewenang-wenangan. Demokrasi tanpa hukum akan menjadi liar dan anarkis, sedangkan hukum tanpa demokrasi adalah kezaliman (Mahfud, Md: 2013). Namun bukan tanpa tantangan yang serius, bagi sistem hukum nasional karena dalam proses demokrasi sangat dipengaruhi oleh dimensi ekonomi, budaya, dan moral masyarakat sekaligus. Sehingga menimbulkan beberapa permasalahan mendasar salah satunya bagaimana negara mampu merumuskan model pemilihan kepala daerah yang adil, berkepastian hukum dan memberikan manfaat bagi masyarakat?, yang tentunya pada akhirnya akan mewujudkan negara sejahtera (wefare state).
Untuk menjawab persoalan tersebut, tidak semudah membalikan telapak tangan, melainkan perlu adanya praktik nyata dan konstruktif yang di awali dengan perencanaan menyeluruh bersifat detail dan pelaksanaan yang konkrit lepas dari jerat kepentingan politik segelitir orang dan atau/ kelompok golongan. Paling tidak perencanaan dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut dapat dilakukan penelaahan secara filosofis multidimensional, yang didalamnya terdapat aspek Ontologis yakni hakikat eksistensi demokrasi pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat. Aspek epistemologis tentang bagaimana kebenaran dan kesalahan demokrasi pemilu yang menjamin kedaulatan rakyat. Serta aspek aksiologis yang berhubungan dengan nilai-nilai moral dan tujuan sosial dari penegakan hukum itu sendiri terhadap persoalan demokrasi pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Indoensia. Sehingga arah demokrasi pemilihan yang menjamin kedaulatan rakyat tidak hanya soal teknis perundang-undangan, tetapi juga refleksi filosofis tentang posisi dan peran ilmu hukum dalam tatanan ilmu pengetahuan apakah ia termasuk ilmu murni, ilmu dasar, atau ilmu terapan.
Dalam struktur keilmuan, hukum tidak dapat diposisikan sebagai ilmu murni sebagaimana Fisika atau Biologi yang berorientasi pada penemuan hukum alam yang bebas nilai (Paul Scholten, 2003). Sementara hukum, selalu berhubungan erat dengan manusia, masyarakat, dan nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, hukum bersifat normatif dan preskriptif, hukum tidak hanya menjelaskan apa yang ada (das sein), tetapi juga menuntut apa yang seharusnya (das sollen). Pada titik inilah hukum ditempatkan dalam kategori ilmu dasar normatif, yakni ilmu yang berfungsi mengembangkan teori dan asas yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan praktik hukum. Namun, hukum tidak dapat berhenti di tataran teoretis saja, dalam praktiknya hukum bertransformasi menjadi ilmu terapan ketika asas-asas dan konsep-konsep yang telah dirumuskan diterjemahkan ke dalam kebijakan publik, peraturan perundang-undangan, serta sistem Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang nyata.
Hukum sebagai ilmu Murni, Ilmu dasar dan ilmu terapan adalah bagian dari ilmu yang berdiri sendiri dan masing-masing bisa saling mempengaruhi satu dengan dengan yang lain. Ilmu dasar tentu memiliki arti bahwa ilmu dasar merupakan ilmu yang amat mendasar dalam khasanah keilmuan karena mengkaji fenomena alam secara sistematis untuk mengembangkan konsep dan prinsip, termasuk fisika, kimia, biologi, geologi, dan astronomi. Ilmu murni dikenal sebagai ilmu fundamental atau dasar ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk memahami fenomena alamiah dan prinsip-prinsip dasar yang mengatur alam semesta. Sedangkan ilmu terapan adalah ilmu pengetahuan yang berfokus pada penerapan pengetahuan ilmiah untuk memecahkan masalah praktis dan mengembangkan teknologi yang bermanfaat. Penelitian dalam ilmu terapan dilakukan dengan tujuan menghasilkan produk, layanan, atau solusi yang langsung bermanfaat bagi masyarakat atau industri.
Bila di komulatifkan, bahwa demokrasi dan pemilihan jika yang bertumpu pada ilmu dasar, hukum mengembangkan asas-asas seperti legalitas, kesalahan, dan pertanggungjawaban administrasi dalam proses administrasi pemilihan Kepala Dearah dan Wakil Kepala Daerah untuk menjamin kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum. Namun sebagai ilmu terapan, hukum dituntut untuk mampu menjawab persoalan empiris, misalnya bagaimana teori kepastian hukum itu terdapat dalam aturan proses pencalonan yang di implementasikannya sehingga tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang negatif. Dengan demikian, formulasi pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam konteks kepastian hukum aturannya menjadi ruang dialektika antara teori dan praktik, antara nilai dan kepentingan sosial.