Menu

Kepastian Hukum dalam Proses Pencalonan Kepala Daerah

Lina 16 Oct 2025, 08:07
Muhamad Andi Susilawan, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Andalas/ Anggota Bawaslu Kabupaten Siak
Muhamad Andi Susilawan, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Andalas/ Anggota Bawaslu Kabupaten Siak

Dari perspektif filsafat ilmu, kebijakan formulasi hukum dalam pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harus memenuhi tiga dimensi utama yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi menyoal hakikat Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai subjek hukum, epistemologi menyoal cara mengikuti aturan maen dalam proses pencalonan, sedangkan aksiologi berkaitan dengan nilai keadilan dan kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum pemilu dan demokrasi. Kebijakan hukum yang baik harus menyeimbangkan ketiga aspek ini. Jika hukum hanya berorientasi pada norma tanpa memperhatikan nilai keadilan, maka ia akan menjadi instrumen kekuasaan. Sebaliknya, jika terlalu berorientasi pada nilai tanpa kepastian hukum, ia akan kehilangan daya mengikatnya.

Kombinasi terintegrasi antara das sollen dan das sein menjadi prinsip utama reformasi demokrasi pemilu. Setidaknya ada 3 hal yang menjadi Pembaruan kebijakan formulasi dalam proses pencalonan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah : Pertama, adanya pengaturan yang jelas terhadap pasal demi pasal dalam pencalonan khususnya soal pemaknaan periodesasi. Kedua, Penyelenggara Pemilu yang mandiri dan berintegritas menjadi harapan utama dalam proses penegakan administrasi pemilu, Ketiga, upaya hukum yang memadai dalam proses penegakan administrasi sehingga tidak mesti harus berproses di akhir, tetapi dalam tahapan pemilu bisa dilakukan upaya hukum administrasi yang konkrit dan konklusif. Dengan demikian, hukum yang baik tidak hanya tunduk pada teks undang-undang, tetapi juga mengabdi pada keadilan substantif. 

Pengaturan soal pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang bias pada akhirnya mencerminkan perjalanan ilmu hukum dari ilmu dasar menuju ilmu terapan, dari teori menuju perbaikan hukum, dari norma menuju realitas. Evolusi ini menunjukkan bahwa ilmu hukum tidak boleh berhenti pada tataran teks, melainkan harus terus bergerak untuk menjawab tantangan zaman. Seperti dikatakan Paul Scholten, hukum harus terbuka terhadap kehidupan agar tetap relevan bagi masyarakat yang diaturnya. Ketika hukum berhenti mendengar denyut nadi kehidupan sosial, ia kehilangan jiwanya dan berubah menjadi alat kekuasaan semata.(*)

Oleh:Muhamad Andi Susilawan, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Andalas/ Anggota Bawaslu Kabupaten Siak

 

Halaman: 56Lihat Semua