Kepastian Hukum dalam Proses Pencalonan Kepala Daerah
3. telah 2 (dua) kali dalam jabatan yang sama di daerah yang sama atau di daerah yang berbeda; dan
Penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan.
Pada pasal 19 huruf e tersebut yang menjadi perbedaan tafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pencalonan. Karenanya putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan mendiskualifikasi Calon Bupati terpilih di Tasik Malaya, Kutai Kartanegara dan Bengkulu Selatan akibat adanya suatu keadaan yang tidak memenuhi syarat dalam proses pencalonannya yaitu dinyatakan sudah 2 (dua) periode. Salah satu alasan dinyatakan sudah 2 (dua) periode adalah terkait dengan jabatan sementara dalam bentuk Pelaksana Tugas (Plt) yang menurut Mahkamah termasuk jabatan sementara yang dihitung masa jabatannya tidak harus berdasarkan sejak dilantik.
Jika ditilik maka dapat disimpulkan penyebab konflik tersebut adalah akibat peraturan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang multitafsir soal persyaratan periodesasi, sehingga karena aturan yang tidak konkrit dan bias hal ini cerminan pertentangan antara kemauan masyarakat yang menuntut keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan kemauan penguasa yang berupaya mempertahankan kekuasaan serta melindungi kepentingan politiknya.
Pertentangan antara das sollen dan das sein menunjukkan adanya jurang epistemik antara teori dan praktik. Di tingkat normatif, proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah berorientasi pada cita kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum, namun dalam implementasinya sering kali tersandera oleh kepentingan pragmatis. Akibatnya, hukum kehilangan legitimasi moralnya di mata public (Joseph Raz, 1979). Masyarakat merasakan ketidakadilan karena dalam proses pencalonan mengikuti tahapan pemilihan kepala daerah sangat melelahkan dan bahkan menguras tenaga dan biaya politik yang tidak sedikit. Kesenjangan ini menunjukkan adanya legal gap dalam kebijakan formulasi proses pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Dalam perspektif teori kepastian hukum Nurhasan Ismail berpendapat bahwa penciptaan dalam kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan memerlukan beberapa persyaratan yang berhubungan dengan struktur internal dalam norma hukum itu sendiri. Persyaratan internal yang dimaksud oleh Nusrhasan Ismail ialah, pertama, adanya kejelasan konsep yang digunakan. Norma hukum tersebut berisi mengenai deskripsi dari perilaku tertentu yang kemudian dijadikan menjadi satu ke dalam konsep-konsep tertentu pula. Kedua, hadirnya kejelasan hirarki yang dinilai penting, karena menyangkut sah atau tidak sahnya. Serta mengikat atau tidak mengikatnya dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat. Kejelasan hirarki tersebut, dapat memberikan arahan sebagai bentuk dari hukum yang memiliki kewenangan untuk dapat membentuk suatu peraturan dari perundangundangan tertentu. Ketiga, adanya konsistensi pada norma hukum perundang-undanga. Maksudnya, ketentuan yang ada pada sejumlah peraturan undang-undang tersebut memiliki kaitan dengan satu subyek tertentu dan tidak saling bertentangan dengan satu dan yang lainnya.