Menu

Waspada, Tsunami Susulan Masih Mengintai Perairan Selat Sunda

Siswandi 24 Dec 2018, 11:42
Aktivitas vulkanis Gunung Anak Krakatau terpantau masih tinggi. Hal ini yang diduga kuat menjadi penyebab munculnya tsunami di perairan Selat Sunda. Foto: int
Aktivitas vulkanis Gunung Anak Krakatau terpantau masih tinggi. Hal ini yang diduga kuat menjadi penyebab munculnya tsunami di perairan Selat Sunda. Foto: int

RIAU24.COM -  Sejumlah ilmuwan di dunia memprediksi, tsunami susulan masih berkemungkinan terjadi kembali di perairan Selat Sunda. Kondisi ini terjadi karena aktivitas vulkanis Gunung Anak Krakatau masih tinggi. Aktivitas vulkanis itu yang menyebabkan terjadinya longsor di bawah permukaan air laut, yang kemudian memicu terjadinya gelombang tsunami.

Aktivitas vulanis  inilah yang diduga kuat menjadi pemicu terjadinya tsunami di kawasan itu. Sejauh ini, tidak ada pihak yang bisa memprediksi, kapan aktivitas vulkanis itu bakal segera berhenti.  

"Kemungkinan tsunami lebih lanjut di Selat Sunda akan tetap tinggi, karena Gunung Anak Krakatau sedang memasuki fase aktif saat ini," ujar ilmuwan Richard Teeuw dari Portsmouth University, Inggris, dari AFP yang dilansir cnnindonesia.com, Senin 24 Desember 2018.

Dibutuhkan survei sonar untuk membuat peta dasar laut di sekitar Gunung Anak Krakatau. Namun sayangnya, survei semacam itu biasanya butuh waktu yang cukup lama, bahkan hingga berbulan-bulan.

Diambil dari laman International Tsunami Information Center UNESCO, gelombang laut yang tinggi dapat disebabkan perpindahan air secara mendadak. Perpindahan air itu kerap terjadi akibat ledakan gunung berapi.

Sebelumnya, hal serupa juga dilontarkan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati.

“Masih akan ada tsunami susulan. Tremor, guncang lereng Gunung Anak Krakatau, kalau itu rontok akan terjadi (tsunami lagi),” ujarnya, seperti dilansir republika.co.id.

Dengan demikian, ia mengimbau masyarakat jangan kembali ke pantai dahulu. Sebab, berdasarkan papan pengukuran (tide gauge), saat ini tremor masih berjalan.

Dwikorita mengatakan, peristiwa tsunami akibat seismik Gunung Krakatau pernah terjadi saat mengalami erupsi pada 1883. Namun, berbeda dengan bencana saat itu, aktivitas seismik Gunung Anak Krakatau ini tidak langsung mengakibatkan terjadi tsunami.

Pola itu justru mengkhawatirkan, sebab tide gauge menunjukkan periode pendek-pendek mirip gempa Palu, Sulawesi Tengah.

"Yang kami cari, apakah ada tebing lereng yang longsor. Kalau ada, artinya selama ada tremor, longsor masih bisa terjadi," tambahnya.

Untuk diketahui, aktivitas vulkanis Gunung Anak Krakatau terus meningkat sejak Juni 2018 lalu. Selama periode Oktober-November 2018 telah terjadi erupsi yang lebih besar sehingga statusnya ditingkatkan menjadi Waspada.

Hingga saat ini, Gunung Anak Krakatau masih tahap pertumbuhan. Ketinggian gunung itu terus bertambah antara 4 meter hingga 6 meter per tahun. ***

R24/wan