Menu

OPINI : Prediksi Pemilih Calon Presiden 2019

Satria Utama 15 Apr 2019, 08:43
Dr. Harmaini, S.Psi., M.Si
Dr. Harmaini, S.Psi., M.Si

Oleh:  Harmaini*

Tanggal 17 April 2019 adalah hari yang sangat mendebarkan bagi calon presiden RI 01 dan 02. Pada hari itu, nasib sebagai calon presiden akan ditentukan oleh rakyat Indonesia. Segala macam usaha telah dilakukan masing-masing calon, walaupun tidak bisa dipungkiri usaha-usaha tersebut ada dengan cara yang baik dan halal maupun sebaliknya.

Penentuan pemilih akan memilih siapa dapat dilihat dari tiga indikator, pertama, sebagai individu yaitu siapa itu calon, bagaimana calon. Kedua, apa yang telah dilakukan calon selama ini. Dan yang ketiga adalah dengan siapa calon berteman atau siapa yang membantu calon untuk memenangkan pertarungan ini.

Ketiga hal tersebut akan terjadi dalam diri individu dan sebenarnya proses dan hasil yang terjadi dalam diri pemilih tidaklah obyektif, artinya ada unsur subyektivitas yang agak tinggi. Walaupun dikategorikan subyektivitas bukan berarti tidak benar. Subyektivitas yang terjadi dalam diri individu karena faktor pemrosesan ketiga informasi yang disebut sebelumnya. Seseorang tidak lagi memikirkan banyak hal tentang sesuatu, pemilih tidak lagi mau diganggu oleh informasi lain tentang apa yang ada dalam skema mentalnya. Jadi seseorang tinggal mengasosiasikan saja keadaan sekarang dengan keadaan yang telah lampau. Otak secara cepat akan menghubungkan segala informasi yang ada dengan mestimulasi dan membangkitkan suatu ide.

Cara kerja skema mental ini akan banyak berfungsi apabila seseorang berada dalam keadaan suasana hati yang positif atau seseorang akan merasa nyaman dengan pilihannya. Seseorang selalu ingin berada dalam keadaan seimbang (balance ), artinya ketidakseimbangan (imbalance) diri adalah selalu ingin dihindari.

Kecenderungan Pilihan

Ketiga indikator yang sebut sebelumnya yaitu siapa dan bagaimana calon, apa yang telah dilakukan calon dan dengan siapa calon berteman atau didukung. Sekali lagi informasi yang berkembang selama ini sulit untuk dikatakan salah dan benar atau betul-betul benar. Akhirnya pemilih dalam menerima dan mengasosiasikan informasi yang didapat cenderung dipengaruhi oleh subyektivitasnya.

Misal, beredar isu bahwa calon nomor 01 dikaitkan dengan PKI, lebih memihak pada Cina, mendeskriditkan Islam dan umat Islam. Pasangan nomor 02 beredar isu sebagai pelanggar HAM berat, lebih dekat dengan Rezim orde baru, berasal dari keluarga nasrani, dan berbagai isu lainnya. Isu-isu tersebut sampai sekarang sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Kesulitan tersebut terjadi karena banyak hal, salah satunya adalah masing-masing calon tidak menjawab secara tegas tentang isu tersebut. Yang terjadi kemudian dimasyarakat sebagai pemilih adalah, mengasosiaikan saja fakta pada masing-masing calon dengan isu tersebut.

Fakta yang dimaksud adalah yang bisa dibuktikan secara nyata, misal, siapa atau sesiapa yang mendukung calon dan berkoalisi selama ini. Subyek yang menjadi mendukung calon tersebut menjadi pesan dan bernilai penting bagi pemilih. Apakah positif atau negatif. Kalau teman tersebut dinilai negatif, maka calon presiden juga akan diniliai negatif begitu juga sebaliknya. Proses dan hasil dari asosiasi tersebut itulah yang saya sebut dengan subyektivitas pemilih. Kebenaran proses dan hasil yang ada pada seseorang tidak bisa diperdebatkan dan dipertanggungjawabkan. karena itu hanya hasil asosiasi individual saja. Hasil dari proses asosiasi itulah akan menentukan kepada siapa kecenderungan pemilih memilih siapa.

Dalam diri seseorang sebenarnya sudah terbentuk sebuah skema mental tentang fenomena-fenomena sosial. Apabila individu ingin mengaktifkan sebagai respon terhadap suatu fenomena yang baru, seseorang tinggal menggunakan skema mental yang sudah ada dalam dirinya. Ini dilakukan seseorang untuk efisiensi dalam berperilaku. Jadi apabila sudah terbentuk suatu skema mental, sulit baginya untuk merubah skema mental tersebut. Skema mental tersebut akan berubah kalau pada diri orang tersebut melakukan koreksi terhadap skema mental tersebut. Koreksian akan terjadi apabila individu tidak lagi ingin berada dalam subyektivitasnya dan apabila dia berada dalam ketidakseimbangan.

Ketidakseimbangan akan menjadi point penting dalam berubah atau tidak berubahnya skema mental. Artinya apabila seseorang sudah merasa seimbang (nyaman) dengan pilihannya, maka skema mental tersebut tidak akan dirubah.

Apabia seseorang punya suatu skema mental yang diyakini dan melakukan sesuai dengan keyakinannya itu, itulah yang saya maksud dengan orang ingin berada dalam kesimbangan. Dan kalau sebaliknya, artinya memutuskan sesuatu diluar skema mental atau keyakinannya maka akan terjadi ketidakseimbangan.

Hasil dari ketidakseimbangan adalah menjemukkan bagi seseorang, dan ini yang ingin dihindari oleh pemilih. Penjelasan lainnya, apa yang telah ada dan apa yang sudah ditampakkan oleh masing-masing calon selama ini adalah sebuah informasi penting bagi pemilih. Yang menjadi point penting disini adalah proses kognitif tidak banyak terjadi, karena pemilih hanya akan mengaososiakan saja informasi yang satu dengan informasi lainnya yang tujuannya untuk berada dalam kesimbangan. Kecenderungan untuk seimbang adalah individu tidak banyak menggunakan kognitifnya.

Kecendeungan pemilih selanjutnyaq selain karena faktor skema mental yang sudah diyakini adalah respon kognitif. Individu dalam merespon suatu stimulus, fenomena sosial atau kejadian mencoba untuk bereaksi terhadap beberapa aspek pesan/informasi dengan memunculkan pikiran negatif atau positif. Pikiran negatif dan positif inilah yang menentukan apakan akan mendukung calon 01 atau 02. Misal. Ada calon yang mengkampanyekan akan melakukan pengurangan subsidi untuk pengobatan masyarakat miskin.

Apabila pemilih berpikir “bagaimana orang-orang miskin yang sakit itu bisa mendapatkan uang untuk membayar biaya pengobatan yang makin mahal”?. Ini merupakan respon kognitif yang negatif yang kecenderungannya calon tersebut tidak akan dipilih. Atau juga proses kognitif yang lain, “boleh juga nih, bagaimanapun subsidi itu kebanyakan salah sasaran dan banyak dinikmati oleh orang kaya”. Ini adalah respon kognitif yang positif dan kecenderungannya, pemilih akan memilih calon tersebut.

Catatan penting untuk respon kogntif ini adalah pertama, proses ini akan berjalan kalau pemilih adalah orang-orang yang banyak menggunakan kognitifnya (pikiran,  rasionalnya) dan kebanyakan proses ini juga terjadi pada masyarakat ekonomi menengah ke atas dan tingkat pendidikan yang tinggi, artinya semakin banyak menggunakan pola pikiran, ataun semakin tinggi tingkat ekonominya atau semakin tinggi tingkat pendidikannya maka respon kognitif akan cenderung digunakan.

Kalau melihat kondisi ril masyarakat Indonesia sekarang ini, menurut hemat saya hanya sekitar 30% masyarakat yang menggunakan respon kognitif. Respon kognitif jangan dianggap betul atau penilaiann obyektif 100%, bisa jadi proses dari pemrosesn kognitifnya dari kacamata negatif. Kadang-kadang seseorang dalam menentukan sesuatu juga dipengaruhi oleh motif untuk membela diri. Pembelaan ini cenderung pada kesalahan. Misal, calon presiden mengatakan dia akan melakukan program hemat energi. Penilaian dari kacamata negatifnya adalah, “program sebenarnya bertujuan untuk mempertahankan kepentingan perusahaan energi asing”. Motif membela dirinya adalah  seseorang mencari informasi yang tujuannya untuk membela pendapat dirinya.

Proses manapun yang diaktifkan oleh pemilih, sulit untuk diprediksi, tapi yang perlu menjadi perhatian penting adalah, pertama bahwa seseorang sudah memiliki skema mental (pikiran/keyakinan) terhadap sesuatu, dan kalau ingin melihat kecendeungan maka pahami skema mental masyarakat Indonesia. Kedua, apa dan bagaimana calon presiden selama ini, siapa, dan dengan siapa calon berteman atau didukung oleh siapa, sudah diproses oleh individu atau pemilih.

Pemilih tidak akan banyak menggunakan pikiran mendalam tentang informasi lain termasuk informasi yang hoax yang berhubungan dengann calon presiden. Benar atau tidaknya informasi tersebut akan berpengaruh atau tidak berpengaruh pada pilihan tergantung apakah individu dipengaruhi oleh subyektivitas atau dipengaruhi oleh respon kognitifnya.

Wallahualambishawab

*Dr. Harmaini, S.Psi., M.Si
Dosen Fakultas Psikologi UIN SUSKA Riau
Dan pemerhati masalah sosial