Menu

Digugat Rizal Ramli cs ke MK, PKS Sebut Aturan Batas Ambang Presiden Sia-siakan Suara Rakyat, yang Untung Malah Kelompok Ini

Siswandi 6 Sep 2020, 22:54
Muhammad Nasir Djamil
Muhammad Nasir Djamil

RIAU24.COM -  Sejumlah tokoh seperti Rizal Ramli dan Rocky Gerung, telah mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Yang diajukan adalah terkait aturan mengenai presidential threshold atau ambang batas presiden sebesar 20 persen, yang hingga kini masih berlaku. 

Sejak uji materi itu disamaikan, respon berdatang dari berbagai pihak, termasuk sejumlah politisi. Salah satunya datang dari politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Nasir Djamil. 

Menurutnya, sejumlah fraksi di DPR RI yang memiliki kursi minimalis menginginkan ambang batas presiden hanya 5 persen. Sebab, jika aturannya tetap dipaksakan pada angka 20 persen, maka tidak menutup kemungkinan akan membunuh sistem demokrasi di Indonesia. 

“Memang 10 persen atau 15 persen, atau 20 persen itu istilahnya bisa membunuh demorkasi dan menyia-nyiakan suara rakyat,” lontarnya, dilansir rmol, Minggu 6 September 2020.

Selain itu, dengan adanya ambang batas presiden sebanyak 20 persen akan menutup kandidat calon presiden potensial untuk maju dalam kontestasi Pilpres lantaran perlu mendapat dukungan banyak partai politik. 

“Itu juga terkesan menguntungkan para pemodal, menguntungkan orang yang punya kuasa uang dan tentu akan menyebabkan ke depan Inpres itu seperti 2019, ada polarisasi. Karena tingginya angka presidential threshold sehingga sulit untuk bisa menghasilkan banyak kandidat,” ujarnya lagi. 

Menurutnya, saat ini Badan Legislasi DPR RI sedang menggodok aturan tersebut dalam pembahasan RUU Pemilu. “Soal itu nanti akan dibahas di RUU Pemilu. Saat ini RUU itu sedang disinkronisasi dan harmonisasi di Baleg DPR,” terangnya. 

Ketika ditanya tanggapannya mengenai langkah Rizal Ramli cs karena ada yang menilainya tidak pas, Nasir tidak memberikan jawaban pasti. 

“Bukan kurang pas atau tidak pas, tapi memang RUU Pemilu ini sedang diharmonisasikan dan disinkronisasikan,” ujarnya diplomatis. 

“Oleh karena itu, kami berpikir memang ke depan harus dicermati oleh partai besar. Kita sudah punya pengalaman di 2019 di mana ada polarisasi yang begitu kuat dan tajam, dan sampai sekarang itu belum selesai,” tutupnya. ***