Menu

Kenalkan, Ini Sosok Sa'ad Jundallah, Ibundanya Para Mujahid Palestina, Begini Sepak Terjangnya Melawan Israel

Siswandi 8 Sep 2020, 10:58
Ilustrasi
Ilustrasi

RIAU24.COM -  Cerita tentang sepak terjang Israel yang begitu kejam menindas masyarakat Palestina, sudah bukan sesuatu yang baru lagi. Namun fakta juga menunjukkan, masyarakat Palestina terus bertahan hingga saat ini, meski telah mengalami penindasan yang begitu kejam secara terus menerus.

Ada banyak hal yang membuat hal itu terjadi. Salah satunya, adalah karena kegigihan masyarakat Palestina dalam mempertahankan hak dan kedaultan mereka, meski harus menghadapi berbagai cobaan, tekanan dan rintangan. Jihad telah menjadi pilihan bagi masyarakat Israel, dalam upaya melawan dan menentang aksi zionis Israel. 

Tidak hanya oleh kaum laki-laki, kaum perempuan di Palestina juga ikut memegang peranan penting dalam perjuangan jihad melawan Israel tersebut. Dilansir republika, Selasa 8 September 2020, warga Palestina mengenal sosok seorang perempuan bernama Sa'ad Jundallah. 

Dia dikenal sebagai perempuan Palestina yang terus konsisten berjihad melawan Israel. Tidak hanya Sa'ad sendiri, suami berikut lima putranya juga melakukan hal serupa dengan penuh keyakinan. Karena itulah, sosok Saad dikenal sebagai ibundanya mujahid Palestina. 

Dirangkum dari media lokal palestina, Sa’ad lahir pada 1956 di Desa Sanburah di Kota Nablas. Sa’ad berasal dari keluarga yang dikenal sangat gigih dalam menjalankan perintah agama Islam. Ketika kecil, Sa"ad tak pernah lepas dari pengajaran Islam. Karakter kuat itu yang membuat semangat perlawanan terhadap zionis terus berkobar hingga sat ini.

Sa’ad menyelesaikan pendidikan SMA-nya di jurusan IPA dan kemudian mendapatkan gelar diploma di jurusan akuntansi. Sa’ad terkenal di lingkungan keluarganya sebagai seorang yang sangat cerdas dan pandai dalam berbisnis.

Pada tahun 1978, ia menikah dengan Sayyid Mahmud Khalil. Bersama suami, ia membentuk keluarga yang menghidupkan Alquran di rumahnya. Sunah-sunah tak pernah absen dari kediaman mungil mereka. Tarbiyah telah membuat Sa"ad dan anak-anaknya yakin jika penjajahan adalah nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam.

Sa"ad menanamkan kepada anak-anaknya untuk menjadi pemuda yang terpaut hatinya dengan masjid. Masjid adalah tempat menempa para pejuang. Ia mewajibkan anak lelakinya untuk menunaikan shalat berjamaah di awal waktu. Pembiasaan ini berujung pada kuatnya mentalitas Islam dalam diri anak-anaknya.

Setelah memiliki dasar Islam yang kuat, Sa’ad juga selalu menanamkan nilai mental pejuang dan kewibawaan sebagai umat Islam kepada anak-anaknya. Ia juga menanamkan kecintaan terhadap Palestina. Sebuah tanah yang dibagi-bagi dan dibatasi penindas bernama Israel.

Sa’ad pun memutuskan melawan. Ia beruntung, anak keduanya, Ahmad, tumbuh menjadi sosok pemberani. Bahu membahu, ibu-anak ini memiliki tugas baru. Menyuplai makanan dan logistik bagi pejuang-pejuang Palestina. Saat itu usia Ahmad baru 15 tahun. Teman-teman sebayanya masih sibuk dengan dunia remaja, main bahkan urusan roman picisan, Ahmad sudah mengambil bagiannya dalam jihad.

Baik Sa"ad mau pun suaminya, tak mengeluh meski hartanya terkuras untuk menyuplai pejuang Palestina. Baginya, jihad adalah menyerahkan semua yang ia mampu untuk agama Allah SWT. Termasuk, harta dan jiwa. 

Karena itu pula, Sa"ad tak merasa terpukul ketika mendapat kabar bahwa anaknya Ahmad, dikepung pasukan Zionis. Ahmad tertangkap dan akhirnya syahid dalam perjuangannya.

Bagi Sa"ad, menjadi ibu dari mujahid adalah sebuah kebanggaan. Ia justru merasa risau jika melihat pejuang Palestina kembali dalam keadaan hidup. Syahid sudah tertanam dalam visi keluarganya. Begitulah Sa'ad, ibunda para mujahid. ***