Menu

Pelanggaran HAM Itu Bernama Peristiwa Telangsari 1989

Azhar 31 Jan 2022, 08:12
Ilustrasi. Sumber: Internet
Ilustrasi. Sumber: Internet

RIAU24.COM -  Peristiwa Talangsari di Provinsi Lampung merupakan salah satu dari sekian banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

Dalam peristiwa Talangsari, sebanyak 27 orang tewas akibat pembunuhan di luar proses hukum, 5 orang diculik, 78 orang dihilangkan secara paksa, 23 orang ditangkap secara sewenang-wenang, dan 24 orang mengalami pengusiran dikutip dari tirto.id.

Peristiwa ini bermula dari keputusan pemerintahan Presiden Soeharto yang menerbitkan UU nomor 3 tahun 1985 (PDF) dan UU Nomor 8 Tahun 1985 (PDF).

Dua UU itu mewajibkan semua partai politik dan organisasi masyarakat di Indonesia menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal. Azas lain selain Pancasila tidak diperbolehkan. Alhasil, penerbitan UU tersebut memicu polemik.

Penolakan keras bahkan muncul dari sejumlah kelompok Islam. Mereka yang menjadi korban dalam Peristiwa Talangsari, sebagian terlibat dalam gerakan menolak azas tunggal tersebut.

Pada akhir tahun 1988, terjadi eksodus sejumlah orang ke Dukuh Cihideung, Desa Talangsari, Lampung Timur.

Mereka berniat membentuk sebuah desa yang memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang jadi keyakinan mereka.

Mereka secara terang-terangan menolak azas tunggal. Alhasil, pemerintah Orde Baru menilai keberadaan desa yang dipimpin oleh Warsidi itu sebagai gerakan terlarang.

Kelompok ini bahkan dituding hendak menggulingkan pemerintahan dan mendirikan negara Islam.

Pemerintah Orde Baru juga menuduh kelompok Warsidi mengajarkan ajaran sesat karena membangun komunitas yang tertutup dan tidak berinteraksi secara terbuka dengan masyarakat umum.

Pada 5 Februari 1989, militer melakukan penculikan terhadap beberapa pengikut kelompok Warsidi.

Keesokan harinya, hal serupa terjadi. Namun, mandapat perlawanan karena dikira hendak menangkap guru mengaji mereka.

Dalam bentrokan tersebut, Kapten Sutiman dan Prajurit Satu Budi dari pihak militer tewas. Hal ini menyebabkan bentrokan bertambah panjang.

Esok harinya, sekitar tengah malam 7 Februari 1989, pasukan militer yang dikomandoi Kolonel AM Hendropriyono, menyerbu kelompok Warsidi. Diduga sebanyak 246 pengikut Warsidi tewas akibat serbuan itu. Di antara yang tewas termasuk Warsidi.