Menu

Viral! Guru Korsel Bunuh Diri, Rekan Ungkap Kasus Bullying Orang Tua ke Pengajar

Zuratul 5 Sep 2023, 11:12
Viral! Guru Korsel Bunuh Diri usai Ungkap Kasus Bullying Orang Tua ke Pengajar. (Pixabay/Foto)
Viral! Guru Korsel Bunuh Diri usai Ungkap Kasus Bullying Orang Tua ke Pengajar. (Pixabay/Foto)

RIAU24.COM -  Seorang guru di Korea Selatan, Lee Min Soo (nama samaran) menulis dalam buku hariannya tentang rasa takut yang menguasai tubuhnya saat dia masuk kelas untuk mengajar.

Ia menulisnya dimulai sejak tanggal 5 Juni 2023.

“Dadaku terasa sangat sesak. Saya merasa seperti akan jatuh ke suatu tempat. Saya bahkan tidak tahu saya di mana,” tulis Guru tersebut.

Pada 3 Juli, guru sekolah dasar itu menulis bahwa ia menjadi sangat kewalahan akibat pekerjaannya, hingga dia “ingin melepaskannya”.

Dua minggu kemudian, perempuan berusia 23 tahun itu ditemukan tewas di lemari kelasnya oleh rekan-rekannya. Dia telah mencabut nyawanya sendiri.

Guru merasa tidak aman mengajar di kelas

Beberapa keluhan memiliki konotasi yang sangat menyeramkan.

Guru dapat dilaporkan atas kekerasan terhadap anak karena menahan anak yang menyakiti murid lain, dan sering dicap melakukan kekerasan emosional.

Tuduhan semacam itu dapat membuat guru langsung dikeluarkan dari pekerjaan mereka.

Seorang guru menerima keluhan setelah menolak permintaan orang tua untuk membangunkan anak mereka dengan panggilan telepon setiap pagi. Yang lain dilaporkan karena kekerasan emosional setelah mencabut stiker dari seorang anak laki-laki yang telah melukai teman sekelasnya dengan gunting.

Selama enam minggu terakhir, puluhan ribu guru berunjuk rasa di Seoul sambil mengeklaim bahwa mereka sekarang sangat takut disebut pelaku kekerasan pada anak.

Sebab, mereka tidak dapat mendisiplinkan siswa mereka dan tidak boleh campur tangan ketika mereka saling menyerang.

Mereka menuduh orang tua menyalahgunakan Undang-Undang Kesejahteraan Anak, yang disahkan pada 2014.

UU itu menyebut bahwa guru yang dituduh melakukan kekerasan terhadap anak akan otomatis diskors.

Guru berusia 28 tahun bernama Kim Jin-seo mengaku bahwa dia sempat berpikir ingin bunuh diri. Belakangan dia meminta cuti tiga bulan usai menerima dua keluhan yang sangat agresif.

Dalam satu kasus, dia meminta seorang murid yang berulah untuk diam di toilet selama lima menit. Sementara di kasus lain dia telah melaporkan seorang anak kepada orang tuanya karena berkelahi.

Dalam kedua kasus tersebut, sekolah memaksanya untuk meminta maaf.

Kim mengatakan dia mencapai titik di mana dia merasa tidak dapat mengajar kelasnya dengan aman:

"Kami para guru merasa sangat tidak berdaya. Mereka yang telah mengalami secara langsung akan mengalami perubahan mendasar. Mereka yang belum merasakannya, melihat hal itu terjadi pada sesama guru. Mau sudah atau belum merasakan, sama saja. Efeknya melemahkan. "

Kultur kompetitif yang marak di Korea Selatan ikut berperan

Yang memicu budaya mengeluh ini adalah masyarakat Korea Selatan yang sangat kompetitif, sehingga hampir segala sesuatu bergantung pada keberhasilan akademis.

Siswa bersaing ketat untuk mendapatkan nilai terbaik sejak usia yang sangat muda, agar mereka dapat suatu hari masuk ke universitas terbaik.

Di luar sekolah, orang tua mengirim anak-anak mereka belajar di layanan bimbingan belajar mahal yang dikenal sebagai hagwon. Hagwon pada umumnya beroperasi dari pukul 5 pagi sampai pukul 10 malam.

Sedangkan, dulu orang tua di Korea bisa memiliki lima atau enam anak. Sekarang sebagian besar orang tua hanya memiliki satu anak. Berarti mereka hanya memiliki satu kesempatan untuk membesarkan anak sukses.

Profesor Kim Bong-jae, yang mengajar calon guru di Universitas Nasional Seoul bidang Edukasi, mengatakan meningkatnya ketidaksetaraan juga menjadi faktor.

Upaya mencegah perundungan di kalangan murid berujung memberi tekanan pada guru.

Kwon yakin tekanan ini merembes ke anak-anak dan mempengaruhi perilaku mereka juga.

"Mereka tidak tahu bagaimana melepaskan tekanan ini, jadi mereka bertindak dengan saling menyakiti."

Perundungan dan kekerasan di kalangan murid merupakan masalah yang cukup terkenal di sekolah-sekolah Korea Selatan.

K-drama populer yang rilis tahun lalu, bertajuk The Glory, menceritakan tentang seorang perempuan yang membalas dendam para mantan penindasnya semasa sekolah.

Drama itu dibuat berdasarkan peristiwa nyata, dan menggambarkan beberapa tindakan kekerasan yang keji antarmurid.

Dalam peristiwa yang tak disangka, sutradara acara itu sendiri dituduh melakukan perundungan dan dipaksa untuk meminta maaf.

Pada Februari, pemerintah Korea Selatan mengalami tekanan untuk mengatasi masalah ini. Mereka mengumumkan bahwa catatan intimidasi siswa akan dimasukkan dalam aplikasi universitas mereka.

Dengan harapan peraturan baru tersebut dapat mencegah siswa melakukan perundungan, hal itu justru memicu kecemasan orang tua dan membuat mereka menaruh tekanan pada guru untuk menghapus kesalahan anak mereka.

Shin Min-hyang, pengurus organisasi Solidaritas untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia Siswa dan Orang Tua, mengakui banyak perilaku orang tua yang disorot selama sebulan terakhir tidak dapat ditolerir.

Namun, ia berpendapat bahwa kasus-kasus itu adalah pengecualian.

"Sebagian besar orang tua berperilaku baik, dan kami khawatir bahwa saluran yang kami gunakan untuk mengkomunikasikan kekhawatiran kami sekarang akan terputus.

"Orang tua digambarkan sebagai pelakunya, dan itu tidak benar," katanya.

Tapi Shin mengakui dia telah mengeluh tentang guru di masa lalu dan ingin lebih banyak masukan atas apa yang diajarkan anaknya dan bagaimana mereka didisiplinkan.

(***)