Sengkarut Masalah di Balik Ribuan Anak Keracunan Makanan Bergizi Gratis
Ketiga, higiene dan sanitasi dapur, menurutnya masih menjadi persoalan klasik. Mulai dari cuci tangan yang tidak disiplin, peralatan masak yang bercampur antara bahan mentah dan matang, hingga air bersih yang tidak terjamin. Kontaminasi silang menjadi hal sangat mungkin terjadi, apalagi jika tidak ada sistem kontrol hama.
Selain itu, kualitas bahan baku dan pemasok juga rawan. Banyak bahan pangan berisiko tinggi seperti telur, ayam, nasi, santan, atau saus kelapa tidak melalui proses uji mikrobiologi maupun sertifikasi. Dalam praktiknya, pergantian pemasok lebih sering didasarkan pada harga murah atau kejar volume, bukan pada rekam jejak keamanan pangan.
"Tak kalah penting adalah lemahnya sistem mutu dan tata kelola. Standar seperti HACCP atau ISO 22000 yang seharusnya memastikan keamanan pangan, sering kali hanya berhenti di tataran administratif. Audit dilakukan sebatas dokumen, tanpa menelusuri kondisi nyata di lapangan. Kontrak pengadaan pun tidak mencantumkan aturan ketat tentang suhu dan waktu penyajian, apalagi sanksi, mekanisme recall, atau asuransi jika terjadi insiden," sorotnya.
"Terakhir, perencanaan menu juga sering tidak adaptif. Menu dengan bahan rawan, misalnya berbasis santan atau saus basah, tetap disajikan walaupun disimpan berjam-jam pada suhu ruang. Padahal, jenis makanan seperti ini justru paling sering memicu insiden keracunan," lanjutnya.
Tidak Bisa Disamaratakan
Dicky menekankan, Indonesia tidak bisa memaksakan satu model penyediaan makanan untuk seluruh wilayah. "Konteks kita besar, bukan hanya geografis, tapi juga budaya dan akses. Kalau dipaksakan seragam, justru berisiko," jelasnya.