Menu

Kontroversi RUU KUHAP yang Baru Disahkan DPR, YLBHI Bongkar Poin Bermasalah 

Zuratul 18 Nov 2025, 16:50
Kontroversi RUU KUHAP yang Baru Disahkan DPR, YLBHI Bongkar Poin Bermasalah.
Kontroversi RUU KUHAP yang Baru Disahkan DPR, YLBHI Bongkar Poin Bermasalah.

RIAU24.COM - Melalui kanal Instagram resminya, DPR RI menjelaskan bahwa RUU KUHAP yang selesai dibahas Komisi III berisi 14 poin perubahan.

"RUU KUHAP menjadi penting karena berfungsi sebagai payung besar bagi penegakan hukum pidana, termasuk pelaksanaan mekanisme perampasan aset," tulis DPR dalam unggahan pada Jumat.

Beberapa dari 14 poin perubahan yang disorot DPR itu termasuk penyesuaian hukum acara pidana, penyelarasan dengan KUHP baru, penegasan diferensiasi fungsional sistem peradilan, penggunaan restorative justice dalam penyelesaian perkara, perbaikan aturan upaya paksa, hingga mekanisme hukum baru.

Akan tetapi, apa yang diputus DPR dan pemerintah akan diubah dalam RUU KUHAP menuai pro kontra.

Pihak yang kontra dengan isi RUU KUHAP menilai bahwa perubahan dalam undang-undang tersebut justru memuat pasal-pasal bermasalah, bersifat karet, dan berpotensi mengarah pada praktik penyalahgunaan wewenang.

Sementara itu, pihak yang pro menilai bahwa RUU KUHAP genting untuk segera disahkan demi mengejar target penetapan KUHP baru pada 2026 mendatang.

Suara untuk segera mengesahkan itu, misalnya, muncul dari Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN).

Sekjen DPP IKADIN, Rivai Kusumanegara, dalam keterangannya pada Sabtu (15/11/2025) menilai bahwa RUU KUHAP penting agar tak ada kegaduhan dalam penegakan hukum setelah KUHP baru akan mulai digunakan pada 2 Januari 2026.

"KUHP baru memiliki kebaruan yang tidak sesuai dengan KUHAP saat ini, sehingga akan timbul kegaduhan dalam penegakan hukum," tutur Rivai, dikutip dari Antara.

Meskipun begitu, tak sedikit yang mengkritik baik proses pembahasan maupun isi substansi perubahan dalam RUU KUHAP.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), misalnya, menilai pembahasan RUU KUHAP dilakukan secara cacat prosedur.

Dalam rilisan pers tertanggal 16 November 2025, ICJR menyatakan bahwa Rapat Panja RUU KUHAP telah dengan salah mencatut nama organisasi masyarakat sipil dalam perubahan pasal RUU KUHAP.

Sejumlah organisasi yang dicatut namanya sebagai pemberi masukan dalam perubahan pasal RUU KUHAP itu termasuk YLBHI, LBHM, IJRS, Lokataru Foundation, LBH APIK, Koalisi Organisasi Disabilitas, hingga Aliansi Jurnalis Independen.

Akan tetapi, setelah diperiksa kembali oleh ICJR, klaim-klaim tersebut tidak akurat. Apa yang disebut rapat panja sebagai masukan organisasi masyarakat sipil, ternyata berbeda dari masukan yang sebenarnya disampaikan.

"Sebagian masukan yang dibacakan dalam rapat panja tersebut ternyata tidak akurat dan bahkan memiliki perbedaan substansi yang signifikan dengan masukan-masukan yang kami berikan melalui berbagai kanal," tulis ICJR.

Atas temuan itu, ICJR menilai bahwa pencatutan nama organisasi masyarakat sipil hanya dilakukan DPR sebagai dalih untuk menjelaskan bahwa mereka telah mengakomodir masukan.

"Panja tersebut seperti orkestrasi kebohongan untuk memberikan kesan bahwa DPR dan Pemerintah telah mengakomodir masukan. Padahal, ini adalah bentuk meaningful manipulation dengan memasukan pasal-pasal bermasalah atas nama koalisi atau organisasi masyarakat sipil," tulis ICJR.

Selain kritik atas proses pembahasan yang dinilai cacat prosedur, poin-poin perubahan dalam RUU KUHAP juga dinilai tak luput dari masalah.

Dalam siaran persnya, YLBHI menilai bahwa setidaknya ada delapan poin perubahan yang bermasalah dalam RUU KUHAP. Berikut daftarnya:

1. Operasi Undercover Buy & Controlled Delivery

YLBHI menilai bahwa RUU KUHAP memberikan kewenangan bagi aparat penegak hukum (APH) untuk melakukan operasi pembelian terselubung dan pengiriman di bawah pengawasan pada semua jenis tindak pidana.

Operasi yang sebelumnya hanya boleh dilakukan untuk tindak pidana narkotika itu dikhawatirkan berisiko menjadi praktik rekayasa kasus tindak pidana.

"Kewenangan luas tanpa pengawasan ini berpotensi membuka peluang penjebakan (entrapment) oleh aparat penegak hukum," tulis YLBHI.

2. Perluasan Dalih "Mengamankan"

Dalam RUU KUHAP, YLBHI juga menilai adanya perluasan makna "pengamanan" yang berpotensi dapat dimaknai menangkap terduga pelaku bahkan sebelum tindak pidananya terkonfirmasi.

Hal itu dikarenakan RUU KUHAP dinilai memberikan kewenangan APH untuk melakukan pencekalan, penggeledahan, dan penangkapan ketika tahap penyelidikan.

"Pasal 5 KUHAP existing, tindakan yang bisa dilakukan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tidak sama sekali diperbolehkan untuk melakukan penahanan," tulis YLBHI.

3. Penangkapan & Penahanan di Luar Izin Hakim

YLBHI juga menyoroti ketiadaan mekanisme pengawasan lembaga pengadilan terhadap upaya paksa penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh APH.

Menurut YLBHI, hal tersebut membuat RUU KUHAP "membuka lebar ruang kesewenang-wenangan aparat" karena ketiadaan "pemeriksaan habeas corpus".

4. Penyadapan Tanpa Izin Hakim

Poin lain yang berpotensi mengarah ke penyalahgunaan wewenang adalah munculnya pasal penyadapan tanpa izin hakim dalam RUU KUHAP.

"RUU KUHAP juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim dengan dilandaskan pada undang-undang yang bahkan belum terbentuk," tulis YLBHI.

5. Celah dalam Mekanisme Restorative Justice

Mekanisme restorative justice yang masuk dalam RUU KUHAP juga dinilai memuat celah kemunculan ruang gelap penyelidikan dan pemaksaan damai.

Ruang gelap penyelidikan itu, jelas YLBHI, muncul karena RUU KUHAP tidak mewajibkan APH melaporkan penghentian penyelidikan ke otoritas manapun. Membuat proses tersebut rawan praktik ilegal karena tidak adanya pengawasan.

Selain itu, RUU KUHAP juga memuat aturan restorative justice yang dapat dilaksanakan pada tahap penyelidikan, ketika belum ditetapkannya jenis tindak pidana yang terjadi.

"Bagaimana mungkin belum ada tindak pidana namun sudah ada subjek pelaku dan korban?" tulis YLBHI.

6. Perluasan Kewenangan Polisi

YLBHI juga menyoroti diktum peralihan PPNS dan Penyidik Khusus di bawah koordinasi kepolisian. Hal ini dikhawatirkan dapat membuat polisi memonopoli proses penindakan hukum.

"Padahal selama ini [polisi] masih memiliki beban tunggakan penyelesaian perkara setiap tahunnya dan belum optimal dalam menindaklanjuti laporan masyarakat untuk mengusut tindak pidana," tulis YLBHI.

7. Inklusivitas Proses Hukum

Selain itu, RUU KUHAP juga dinilai masih bersifat ableistik terhadap penyandang disabilitas. Hal ini berpotensi membuat proses hukum berjalan tidak secara setara dan cenderung diskriminatif.

8. Dikerjakan secara Buru-buru

YLBHI juga mengkritik proses pembahasan RUU KUHAP yang dilakukan secara terburu-buru. Ada tiga hal yang disorot YLBHI tentang hal tersebut, yakni ketiadaan masa transisi, ketiadaan peraturan pelaksana, dan belum memadainya kebutuhan KUHP dalam KUHAP.

Tiga hal tersebut, dijelaskan YLBHI, berpotensi membuat praktik pelaksanaan KUHAP yang baru tidak optimal pada tahun pertama.

(***)