Menu

Menang atau Mati Syahid Lawan Israel, Warga Gaza Bersumpah Tidak Akan Tinggalkan Rafah

Riko 11 Feb 2024, 19:22
Kondisi jalur Gaza hancur lebur dibombardir zionis Israel (net)
Kondisi jalur Gaza hancur lebur dibombardir zionis Israel (net)

RIAU24.COM - Warga Palestina di Rafah, tempat lebih dari separuh penduduk Jalur Gaza terpaksa mencari perlindungan dari perang genosida Israel yang sedang berlangsung, dan mereka bersumpah untuk tetap tinggal di kota tersebut, meskipun ada ancaman serangan Israel habis-habisan.

Lebih dari satu juta orang telah mengungsi ke kota Gaza selatan di tengah perang yang terjadi pada 7 Oktober lalu yang sejauh ini telah menewaskan sekitar 28.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan, anak-anak, dan remaja. 

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan militer Israel pada hari Jumat untuk bersiap mengevakuasi warga sipil dari Rafah menjelang rencana operasi darat terhadap kota tersebut.

Namun organisasi bantuan mengatakan langkah tersebut hampir mustahil dilakukan, mengingat skala kehancuran di wilayah lain di Gaza, dan banyaknya orang yang terjebak di wilayah yang terkepung.

Dalam sebuah pernyataan, warga Palestina di kota tersebut menegaskan bahwa “kami tidak akan meninggalkan Rafah dalam keadaan apa pun. Kami telah memutuskan untuk mati di sini atau kembali ke rumah kami dengan kemenangan ketika perang telah berhenti.” "Kami tidak akan meninggalkan Rafah. Dan kami akan mati berdiri tegak. Entah menang... atau mati syahid," kata mereka, dilansir Press TV dikutip Sindonews.

“Atas nama setiap pengungsi dan atas nama rakyat Rafah, kami menyerukan semua kekuatan dunia untuk bertindak tegas untuk mengekang agresi, menghentikan pembantaian, dan mencegah bencana Rafah.” 

Philippa Greer, kepala Kantor Hukum di UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina, di Jalur Gaza, sementara itu, menulis di X, menggarisbawahi kondisi kemanusiaan yang memprihatinkan di kota tersebut. “1,4 juta orang berada dalam kondisi yang memburuk, banyak yang terpaksa mengungsi berkali-kali,” kata Greer.

Dia menekankan penduduk Rafah telah mengalami rasa sakit, penderitaan, kelaparan dan ketakutan yang tak tertahankan. Dia mengungkapkan bahwa kota Rafah menderita “kekurangan tempat berlindung yang akut. air bersih, makanan dan obat-obatan."