Menu

Prabowo Subianto Umumkan 10 Pahlawan Nasional, Soeharto Termasuk

Zuratul 10 Nov 2025, 11:12
Prabowo Subianto Umumkan 10 Pahlawan Nasional, Soeharto Termasuk.
Prabowo Subianto Umumkan 10 Pahlawan Nasional, Soeharto Termasuk.

RIAU24.COM - Presiden Prabowo Subianto akan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh.

Salah satu tokoh yang dipastikan menerima gelar adalah Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Keputusan pemberian gelar ini telah menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi membeberkan keputusan pemerintah dalam pemberian gelar Pahlawan Nasional tersebut.

Hal itu ia katakan bahwa keputusan ini merupakan bentuk penghormatan negara.

 “Itu kan bagian dari bagaimana kita menghormati para pendahulu, terutama para pemimpin kita, yang apa pun sudah pasti memiliki jasa yang luar biasa terhadap bangsa dan negara,” ujar Prasetyo di Kertanegara, Selong, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (9/11/2025).

Penganugerahan gelar direncanakan akan digelar di Istana Negara Jakarta, Senin (10/11/2025) pagi.

Presiden Prabowo sendiri akan memimpin langsung prosesi penyerahan gelar tersebut yang menjadi bagian dari peringatan Hari Pahlawan.

Proses dan Pertimbangan Pemberian Gelar

Sebelum finalisasi, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) telah menyeleksi 49 nama calon.

GTK bertugas meneliti dan menilai usulan tokoh yang dianggap berjasa bagi negara.

Beberapa nama yang dikaji menarik perhatian publik, termasuk Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Aktivis buruh perempuan, Marsinah, yang gugur pada 1990-an juga masuk dalam daftar usulan.

Menteri Sosial Gus Ipul menjelaskan bahwa usulan nama pahlawan berawal dari masyarakat dan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD).

Tim ini berada di tingkat provinsi dan bekerja menilai usulan dari daerah masing-masing.

Setelah disetujui oleh bupati atau wali kota, berkas usulan kemudian diteruskan ke gubernur untuk disahkan dan dikirim ke Kementerian Sosial.

Kontroversi dan Penolakan Terhadap Soeharto

Keputusan memasukkan nama Soeharto sebagai salah satu penerima gelar menuai reaksi keras dari berbagai kalangan.

Lebih dari 500 aktivis dan akademisi sebelumnya telah menandatangani pernyataan penolakan terhadap rencana pemberian gelar tersebut. 

Mereka menilai masih banyak catatan kelam selama masa pemerintahan Orde Baru yang perlu dikaji secara mendalam sebelum negara memberikan penghargaan tertinggi tersebut.

Salah satu penolakan tegas datang dari KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan tokoh pesantren asal Rembang, Jawa Tengah. 

Dalam pernyataannya yang dikutip dari NU Online, Gus Mus menegaskan, “Saya ini orang yang paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional.”

Menurut Gus Mus, banyak peristiwa di masa Orde Baru yang menimbulkan penderitaan bagi kalangan pesantren dan warga Nahdlatul Ulama.

Ia menyebut banyak ulama dan kiai mengalami perlakuan tidak adil, bahkan sebagian menjadi korban kekerasan.

“Banyak kiai yang dimasukin sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, yang suruh pasang malah dirobohin oleh bupati-bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ungkapnya.

Gus Mus juga menuturkan bahwa KH Sahal Mahfudh, salah satu tokoh NU terkemuka, pernah didatangi pengurus Golkar Jawa Tengah yang memintanya menjadi penasihat partai.

“Kiai Sahal tidak mau, saya menyaksikan sendiri,” ujarnya.

Ia menilai, banyak ulama yang berjasa besar bagi bangsa tidak pernah mengajukan gelar pahlawan karena ingin menjaga keikhlasan amal perjuangannya.

“Banyak kiai yang dulu berjuang, tapi keluarganya tidak ingin mengajukan gelar pahlawan. Alasannya supaya amal kebaikannya tidak berkurang di mata Allah. Kalau istilahnya, menghindari riya’,” jelas Gus Mus.

Bagi Gus Mus, mendukung pemberian gelar kepada Soeharto berarti mengabaikan sejarah kelam masa Orde Baru.

“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan tragedi di Losarang, Indramayu, pada Pemilu 1971—basis kuat Partai NU—di mana warga mengalami intimidasi dan kekerasan politik.

Tragedi ini menurutnya menjadi bukti bahwa masa pemerintahan Orde Baru tidak lepas dari praktik penindasan terhadap sebagian kelompok masyarakat.

(***)