Rocky Gerung Sebut Prabowo Tak Lagi Gandeng Gibran di Pilpres 2029
Peneliti ekonomi politik dari University of Melbourne, Eve Warburton, dalam risetnya tahun 2024 menyebut bahwa oligarki di Indonesia justru semakin adaptif: mereka mendukung siapa pun yang bisa menjamin kelangsungan akses terhadap sumber daya. Dalam tulisannya di Contemporary Southeast Asia Journal, Warburton menilai “pergantian elite politik di Indonesia lebih bersifat kosmetik daripada struktural.”
2029: Politik yang Disiapkan Sejak Dini
Bagi Rocky, 2029 bukan sekadar tahun pemilu berikutnya, melainkan titik puncak dari proyek panjang kekuasaan. Ia meyakini bahwa sejak awal, keterlibatan Gibran dalam pemerintahan bukan sekadar strategi elektoral, tetapi langkah sistematis untuk menjaga kesinambungan pengaruh Jokowi di masa depan.
“Kekuasaan sedang membangun dirinya lewat anak muda, agar tampak segar,” katanya. “Tapi di balik itu, yang bekerja adalah kalkulasi lama — bahwa kekuasaan tidak boleh mati, hanya perlu ganti wajah.”
Kajian dari Indikator Politik Indonesia (2025) mencatat bahwa popularitas Gibran di kalangan pemilih muda masih tinggi, tetapi 47 persen responden mengaku belum mengetahui gagasan kebijakan apa pun yang diusungnya. Temuan itu memperkuat argumen bahwa Gibran lebih berfungsi sebagai simbol representasi, bukan agen ideologis.
Rocky menyimpulkan dengan kalimat yang mencerminkan kegelisahan publik intelektual: