Menu

DPR Serahkan Draf Final RUU Ketenagakerjaan Kepada Jokowi

Devi 14 Oct 2020, 15:41
DPR Serahkan Draf Final RUU Ketenagakerjaan Kepada Jokowi
DPR Serahkan Draf Final RUU Ketenagakerjaan Kepada Jokowi

RIAU24.COM -  DPR telah menyerahkan draf final UU Cipta Lapangan Kerja yang kontroversial kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Rabu. Dari empat draf final yang beredar di publik, yang menimbulkan kerancuan di kalangan warga atas isi final undang-undang tersebut, DPR mengajukan draf 812 halaman terbaru kepada Jokowi.

Sekjen DPR Indra Iskandar menyerahkan draf final melalui Sekretaris Negara Pratikno di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Rabu sore, Kompas TV melaporkan.

Sebelumnya pada Rabu, Indra mengatakan bahwa DPR akan menerbitkan salinan undang-undang tersebut kepada publik setelah Jokowi menandatanganinya, bukan pada hari penyerahan.

Hingga Rabu pagi, DPR belum secara resmi mendistribusikan atau menerbitkan salinan final undang-undang tersebut kepada publik. Draf yang diunggah ke situs web DPR tersebut merupakan salah satu yang masih harus diselesaikan oleh Badan Legislasi DPR (Baleg) yang panjangnya 1.028 halaman.

Selain draf 812 halaman dan 1.028 halaman, tiga salinan draf yang berbeda - masing-masing terdiri dari 1.035, 1.052 dan 905 halaman - juga baru-baru ini diedarkan di depan publik. bagian dari undang-undang kontroversial minggu lalu.

Draf setebal 905 halaman itulah yang digunakan DPR untuk mengesahkan RUU itu pada 5 Oktober lalu, kata Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin dan Indra Iskandar. Azis mengatakan UU tersebut akan menjadi milik publik setelah DPR menyerahkannya kepada Jokowi.

Batas waktu pengajuan undang-undang itu tengah malam pada 14 Oktober 2020, sehingga ketika undang-undang itu resmi dikirim ke Presiden sebagai kepala pemerintahan, undang-undang ini resmi menjadi milik publik, kata politikus Partai Golkar itu pada hari Selasa.

Setelah menimbulkan kebingungan publik, Azis bersumpah bahwa DPR tidak mengubah sesuatu yang substansial dalam draf tersebut dan mengatakan perubahan itu karena perbedaan font dan ukuran halaman. “Saya jamin, sesuai sumpah jabatan kami, kami tidak berani memasukkan pasal tambahan [setelah pasal itu]. Itu tindak pidana,” ujarnya.