Menu

Memaknai Merdeka Belajar Dan Merdeka Mengajar Filosofi Ki Hadjar Dewantara Dalam Perspektif Calon Guru Penggerak

Alwira 23 May 2022, 09:18
Alexssander, S. Pd, Gr
Alexssander, S. Pd, Gr
Mari kita korelasikan dengan masa sekarang! walaupun sudah satu abad  lamanya, namun pemikiran KHD ini terasa visioner jauh melampaui zamannya pada saat itu. Coba perhatikan apa yang bangsa kita alami dalam kehidupan sosial budayanya masa sekarang. Kita seakan kehilangan jati diri bangsa yang diwariskan oleh para pendahulu kita. 

Budaya bangsa Indonesia terus mengalami perubahan sesuai perkembangan zaman. Banyak budaya asli bangsa Indonesia mulai tergerus akibat globalisasi dan akulturasi budaya baik secara langsung maupun tidak langsung, salah satu penyebabnya adalah derasnya perkembangan teknologi dan informasi, sebagai contoh perkembangan akses internet yang terus berkembang pesat membuat berbagai jenis konten dapat diakses dengan mudah oleh pengguna internet dari segala kalangan tanpa batas usia di seluruh dunia termasuk di negara kita Indonesia. 

Tidak ada batas ruang dan waktu dalam “dunia maya”, begitu juga jenis informasi dari konten yang tersedia di dalamnya. Internet tidak hanya sebagai tempat tersedianya konten-konten positif yang mengandung hal-hal yang baik-baik saja, namun di dalamnya terdapat banyak sekali konten negatif yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kerena bersifat merusak nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara seperti pornografi, penyebaran faham sekulerisme, informasi palsu (hoax) dan lain sebagainya. Untuk itu dibutuh penyaring untuk memisahkan mana hal yang baik, dan mana hal yang buruk dari semua konten informasi yang akses di internet. Disinilah pendidikan bangsa yang memperhatikan kearifan lokal serta kodrat keadaan diperlukan.

Kodrat keadaan kita memang jauh berbeda dengan masa penjajahan kolonial belanda. Kita memang sudah merdeka 77 tahun lamanya, tetapi apakah kemerdekaan itu sudah benar-benar kita rasakan terutama dalam bidang pendidikan? Benarkah kemerdekaan pendidikan sudah di dapatkan oleh para pembelajar yang kita sebut murid? Benarkah para pendidik sudah memperhatikan kebutuhan murid saat melakukan pendidikan dan pengajaran?. Untuk menjawab semua itu kita perlu bandingkan pendidikan di masa penjajahan kolonial dan masa sekarang.

Saat ini kita hidup di masa di mana kita dapat melihat anak-anak yang masih dalam masa pendidikan di Sekolah Dasar (SD) maupun Sekolah Menengah Pertama (SMP) lebih “fasih” menggunakan Perangkat laptop, tablet, PC maupun Android dari pada orang tuanya. Kita kadang heran melihat generasi muda datang ke payshop hanya untuk melakukan transaksi jual-beli barang yang wujudnya tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga bahkan tidak dapat diraba dan dirasa oleh panca indra apapun. Barang ini mereka sebut dengan istilah “Chip” yaitu semacam e-money yang dapat dipergunakan untuk kepentingan bermain game tertentu. 

Selain itu ada hal yang lebih memprihatinkan lagi bagi kita yaitu hilangnya budaya bangsa, hilangnya sikap suka bersilaturahmi saling mengunjungi antara sesama. Silaturahmi yang merupakan sikap budi luhur bangsa Indonesia, selain sikap gotong royong secara berangsur-angsur semakin ditinggalkan. Budaya bangsa saling mengunjungi datang ke rumah sanak-saudara, jiran tetangga maupun teman-kerabat dan kenalan walau hanya sekedar bercengkrama, mengobrol hal-hal biasa maupun hal serius ini mulai kita tinggalkan, padahal silaturahmi sudah menjadi budaya yang turun temurun yang sedari dahulu bangsa Indonesia sudah memilikinya kini harus terkikis zaman berganti dengan silaturahmi gaya baru yang “kekinian” sehingga menghilangkan nilai penting dari silahturahhmi itu sendiri, yaitu memupuk dan menguatkan rasa persaudaraan antar sesama. 

Halaman: 123Lihat Semua