Menu

Belajar Dari Sosok Singa Podium Asal Minangkabau: Mohammad Natsir

Zuratul 21 Jun 2022, 10:32
Ilustrasi/merdeka.com
Ilustrasi/merdeka.com

RIAU24.COM - “Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tapi adalah pandangan hidup yang melputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Islam adalah sumber segala perjuangan atau revolusi itu sendiri, sumber dari pertentangan setiap macam penjajahan; eksploitasi manusia atas manusia; pemberantasan kebodohan, kejahilian dan pendewaan dan juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan. Islam tidak memisahkan agama dan kenegaraan,” kata Mohammad Natsir.

Berbagai risalah dan seruannya selalu menarik untuk didalami. Sosoknya merupakan perpaduan antara figur modernis, politikus, sekaligus aktivitas tangguh yang semakin terasah dibawah tempaan sang ulama besar Ahmad Hassan (1887- 1985).

Di tengah era munculnya berbagai literasi maupun orientalis barat yang banyak ngulas tentang islam. Ahmad Hassan mengajarkan kepada para muridnya berbagai ilmu agama dan berpikir kritis terhadap pemikiran yang bertentangan dengan islam.

Terutama yang bersumber dari para orientalis. “Tak ada kehidupan yang mulia, selain hidup dalam batas-batas agama!” adalah sebuah prinsip hidup yang senantiasa ia dengungkan kepada orang-orang yang datang berkunjung.

Kuatnya keterikan Mohmmad Natsir pada Islam, memang bukan kebetulan. Natsir lahir ditegah masyarakat Minangkabau yang teah mengakar suatu norma berupa folkways, yakni norma yang berpusat pada akar-akar keislaman.

Dari minangkabau, kita pun mengenal sebuah slogan yang turun temurun di ikrarkan ninik mamak dan alim ‘ulama Minangkabau: “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah; syara’ berkata adat memakai” sebuahh pedoman yang menjadikan Islam sebagai satu-satunya pedoman dalam kehidupan.

Kisah Singkat

Diusia yang masih 22 tahun, Mohammad Natsir ikut terlibat dalam mendirikan Komite Pembela Islam, sebuah organisasi yang dibentuk dalam rangka meng-counter zending Kristen yang sangat menggeliat.

Berbekal beragamanya penguasa bahasa, menjadikan ‘pengembaraan intelektual’ Natsir nyaris tanpa batas, yang kemudian diejawantahkan dalam berbagaiaksi, orasi, maupun tulisan.

Akibat intensnya penghinaan para pendeta yang seringkali merendahkan sosok Nabi Muhammad dan Islam (dengan anggapan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia dengan nafsu syahwat yang besar dan anggapan bahwa Al-qur’an adalah koleksi dongeng, cerita buatan, dan cerita yang disalahpahami).

Memicu Natsir dan kawan-kawan di komite untuk membuat Majalah “Pembelaan Islam”.

Serangannya yang demikian keras dan jantan atas lontaran pemikiran orientalisme dan misi Zending terhadap Islam di masa politik etis, membuat kalang kabut pemerintahan kolonialisme saat itu.

Idealismenya sangatlah kuat, hingga mampu menghasilkan berbagai tulisan dan propaganda yang membuat panik pihak-pihak yang berlawanan, terutama kalangan yang dengan getol mendukung sekularisme.

Mulai dari “Islam dan Akal Merdeka” Versus “Islam Sontoloyo” hingga panasnya sidang konstituante, Soekarno adalah salah satu sosok yang sangat memahami bagaimana kerasnya penentangan Natsir terhadap ideologi yang memisahkan agama dengan negara tersebut.

Polemik antara Natsir dengan Soekarno soal agama dan negara menjadi perbincangan hangat kaum pergerakan. Natsir bahkan menyebut orang-orang yang mengusung sekulerisme sebagai “laa diniyah” alias netral Agama.

Bagi Natsir mereka adalah para “kemalisten Indonesia”, pengikut setia dari bapak sekulerisme Turki, Mustafa Kemal Ataturk.

Meski tak sedikit tokoh nasional yang berbeda konsep dengannya, namun ide Islamlah yang senantiasa ia bawa, tawarkan, dan terus-menerus diunggulkan.

Sekaligus tak melewatkan kesemoatan untuk terus menyerang berbagai hal yang bertentangan dengan dienul Islam. Semua terekam jelas dalam rentetan sejarah Persidangan Sidang Konstituante, hingga PKI dan PNI menjadi saksi atas keberaniannya.

Walau begitu, sosok Natsir adalah potret bagaimana rajutan antara lawan dan kawan merupakan sebuah hal yang normal. Di Kafetaria gedung dewan, ia kerap bercengkrama dan tertawa bersama D.N. Aidit, tokoh sentral dari Partai Komunis Indonesia, Ngopi bareng. Meregangkan urat-urat dan tensi pertentangan.

Padahal, semua orangpun tahu bahwa pendirian dan pandangan keduua tokoh itu ibarat bumi dan langit, satu dengan lainnya hampir tidak ada titik temu.

Namun Natsir pun paham, bahwa ada kalanya ia harus ‘menyerang’ dan ada kalanya juga ia bertegur sapa, kabar dan tentu saja sembari berharap,  muslimin yang telah terbawa arus komunisme, tertarik untuk kembali kepada Islam.

Natsir pun bukan seorang yang pendendam. Kala dekrit Presiden digunakan sebagai palu godam kekuasaan yang memaksa pembubaran Sidang Konstituante hingga merambat pada peristiwa Permesta yang merugikan Masyumi dan berujung dibubarkan partai secara paksa.

Sang singa Podium ini pun pernah merasakan indahnya perjuangan di balik jeruji besi. Namun baginya, hal tersebut adalah sebuah qadha yang merupakan bagian tak terpisahkan dari proses ikhtiar dari apa yang selaam ini ia yakini kebenarannya.

Akhir kata, ia adalah sosok yang tak lekang dimakan waktu. Raganya boleh meninggalkan kita, namun semangat perjuangannya terus hidup, hari ini hingga kelak nanti. Selalu teriring doa kebaikan untuknya, Mohammad Natsir.